CERBUNG - INDIGO

Lian 10 Februari 2020 09:59:45 WIB

PROLOG

 

Hari begitu terik namun gadis berkulit pucat dengan mata berbingkai terus melangkahkan kaki rampingnya menyusuri jalanan. Tak ada yang tau tujuan akhir perjalanan gadis itu.

Perawakannya yang mungil dengan ekspresi datar merupakan ciri khas gadis berambut sebahu tersebut. Earphone tersumpal di kedua telinganya, berjalan dengan acuh. Hawa mencekam yang misterius selalu mengikuti kemanapun gadis itu melangkah.

Dia melangkah mengikuti jalan takdir yang telah terbersit melalui penglihatannya. Mengabaikan rasa gusar di hatinya. Mengabaikan bisikan aneh yang tertangkap indera pendengarannya. Dengan angkuh ia menapaki jalan yang tak asing baginya.

Pepohonan di tepi jalan melindungi gadis itu dari teriknya matahari. Gadis berkacamata itu mengamati persimpangan jalan yang tak jauh dari tempatnya saat ini seperti menunggu sesuatu terjadi. Udara begitu panas, sesekali dia menguap karena bosan menunggu. Orang yang berlalu-lalang di tempat itu memperhatikannya sedang bersandar pada sebuah pohon perindang. Sesekali gadis itu melihat jam tangannya untuk memastikan waktu lalu menatap kembali pada persimpangan jalan.

“Sudah waktunya,” gumamnya saat ia bangkit dari posisinya.

Gadis itu mulai berjalan mendekati persimpangan jalan yang tak ramai oleh kendaraan. Semakin dekat dengan persimpangan jalan lalu gadis itu melihat mobil melaju dari arah berlawanan namun bukan mobil itu yang ia tunggu melaikan sepeda motor yang tiba-tiba datang dari sebelah kanannya. Tak ada traffic light yang mengatur lalulintas karena itu hanya persimpangan kecil.

Kejadian yang begitu tiba-tiba sukses mengejutkan para pejalan kaki maupun orang-orang yang ada di toko pinggir jalanan itu. Mereka semua memusatkan perhatiannya pada bunyi decitan yang begitu nyaring terdengar dan disusul dentuman keras. Dalam sekejap terbentuk kerumunan, orang-orang berkumpul untuk menyaksikan korban dari kecelakaan yang baru saja terjadi. Bukan mobil bertabrakan dengan sepeda motor. Bukan. Pengendara mobil berhasil membanting setirnya untuk menghindari tabrakan namun sialnya mobil tersebut malah membentur tiang lampu penerang jalan hingga kap mobil bagian depan menganga.

‘Lily, menghindarlah!!!” sebuah suara yang tak asing tertangkap indera pendengaran gadis itu. Meski samar, gadis bernama Lily itu jelas tahu bahwa pemilik suara tengah memperingatkannya.

Dengan lincah Lily menghindari tubrukan sepeda motor yang keluar jalur demi menghindari tabrakan dengan mobil tadi. Si pengemudi yang kehilangan ketenangan itu tak mampu mengendalikan laju motornya dan berakhir di trotoar. Ia terlempar lumayan jauh dari motornya. Meringkuk di atas trotoar, mencoba mengumpulkan kesadarannya lalu melepas helm yang ia pakai. Nampak wajah rupawan seorang pemuda di awal usia dua puluhan. Ia meringis menyadari kaki kanannya terasa nyeri, sakit untuk digerakkan.

Si pemuda yang terlempar beberapa meter dari Lily itu membuatnya lumanyan terkejut. Ditambah saat Lily berbalik ia melihat pemuda yang tengah terkapar itu meringis kesakitan. Lily melepas earphone yang sejak tadi menyumbat telinganya, tatapannya tak sesentipun teralih dari wajah pemuda malang di depannya. Ia begitu fokus hingga suara lembut seorang wanita mengalihkan atensinya.

“Kau tak apa-apa, Lily?” tanya wanita itu, kentara sekali bahwa ia sedang cemas dengan kondisi Lily. Tangannya menangkup wajah Lily untuk mencari bila ada lecet di tubuh gadis itu.

“Diamlah Mama, aku baik-baik saja dan jangan membuatku nampak seperti orang gila karena menanggapimu!” ucap Lily datar. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju pemuda malang yang masih meringis kesakitan. Wanita tadi tidak marah dengan ucapan Lily, dia hanya mengulas senyum tipis melihat punggung kecil Lily menjauh.

Dengan langkah pasti, Lily mendekati tempat pemuda itu berbaring. Di sana sudah banyak orang berkerumunan mencoba menolong sang pemuda. Ada juga yang hanya menonton. Pemuda itu terus memegangi kakinya yang nampak seperti patah. Tidak, itu dislokasi. Lily menyadari hal itu lalu berjongkok di dekat pemuda yang sedang kesakitan itu.

“Bang, boleh liat kakinya yang sakit?” Lily ingin membantu si pemuda tapi ia tak mungkin langsung grepe-grepe tanpa persetujuan yang punya badan ‘kan?

“Arggg!! Mau apa lo dek? Ini sakit banget kalo dipegang!” si pemuda mengerang kesakitan dan bertambah panik saat ia melihat tangan Lily terulur hampir menyentuh kakinya yang sakit.

“Cuma mau bantuin aja, Bang. Biar nggak sakit lagi,” nada cuek Lily membuat pemuda itu tak yakin pada gadis di depannya.

“Kok gua nggak yakin sama lo—arggg!!!” ucap si pemuda yang bahkan tak bisa ia selesaikan saat Lily memegangi pahanya lalu menarik kaki bagian bawahnya dengan cepat sampai terdengar bunyi ‘krek’. Wajah pemuda itu pasi, ia mengerang kesakitan.

“Sudah, Bang. Harusnya setelah ini nyerinya tak akan seberapa, tinggal nunggu bengkaknya sembuh,” ucap Lily saat melepaskan tangannya dari kaki si pemuda. Ia tak menyadari perubahan air muka si pemuda yang sudah mirip penjaga pintu gerbang neraka.

“Apa yang lo lakuin sama kaki gua, bocah?!!!” teriak si pemuda, ia merenggut kerah baju Lily membuat tubuh gadis bertabrakan dengan dada bidangnya.

“Santai, Bang... udah nggak sakit lagi ‘kan? Buktinya udah kuat ngebanting orang,” sindir Lily yang sukses membuat wajah garang si pemuda berubah jadi merah. “Udah ‘kan? Kalo gitu tolong lepasin, Bang!” Lily menepis cengkeraman di kerahnya lalu berdiri.

Lily berjalan menjauh, tak lagi menengok kebelakang meski ia penasaran dengan reaksi si pemuda setelah gadis itu melakukan sesuatu padanya. Langkah mantap Lily membawanya semakin jauh dari tempat itu. Ia tak peduli pada siapapun yang menatapnya aneh.

“Lily, kamu tak apa sayang? Kenapa dia kasar sekali pada anak gadis!” suara itu lagi, Lily sudah tak asing lagi dengan suara wanita yang sekarang bergelayut di lehernya. Memeluk Lily dari belakang. Apakah ada yang bertanya ‘apa Lily tidak sesak napas’? Tentu saja tidak karena yang menggelayuti Lily bahkan tak memiliki bobot. Tubuhnya mengambang dan transparan.

“Hmm, ayo pulang Ma. Hari sudah sore, Lily tak mau Bunda khawatir,” final Lily. Gadis itu kembali menyumpalkan earphone ke telinganya. Terus berjalan menuju matahari senja.

 

Bersambung...

 

Anda juga dapat membaca karya ini maupun karya author yang sama di https://www.wattpad.com/836119378-indigo-1-prolog

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT