CERBUNG - STAY WITH YOU

Lian 14 Januari 2020 11:43:40 WIB

20. Keputusan

 

Kurasakan suasana dalam keluargaku sangat berubah setelah aku memutuskan untuk menjalani operasi. Suasana menjadi canggung dan udara sekitar kami terasa seperti lebih berat. Sesak. Aku tahu mereka menghawatirkanku, tapi justru karena itu malah membuatku semakin sesak dan semaki takut menghadapi kenyataan di depanku ini. Yang aku butuhkan saat ini adalah dukungan dan kata-kata penyemangat dari mereka. Bagiku senyum mereka saja sudah mampu mendorongku untuk berusaha bertahan hidup. Tapi pada kenyataannya, sikap mereka yang penuh kekhawatiran padaku ini seperti memborgol bagi kaki dan tanganku.

Apakah begitu mahalnya rasa percaya mereka itu? Aku ingin mereka sedikit lebih percaya padaku, percaya bahwa aku bisa melewati operasi nanti dan tetap bertahan hidup. Tapi itu tak perlu kupikirkan sekarang, atau hal itu hanya akan mengganggu konsentrasiku saat ujian semester kali ini.

Ini sudah beberapa bulan setelah aku mengutarakan keputusanku di hadapan ayah dan Dokter Risa, tentang aku yang ingin menjalani operasi. Saat ini aku hanya perlu fokus pada soal ujian yang telah ada di depanku. Karena dokter telah  menetapkan jadwal operasi untukku tepat setelah ujan selesai, harus kupastikan bahwa tak ada satu mata pelajaranpun yang mengulang. Karena aku telah berjanji juga pada ayah jauh sebelum tubuh ini digerogoti penyakit ini, bahwa aku harus terus mempertahankan prestasiku. Walaupun beberapa waktu yang lalu ayah mengatakan untuk tak terlalu memikirkannya lagi, tapi aku terlalu biasa dengan cara pandang ayah yang menginginkanku menjadi yang terbaik.

“Akhirnya kelar juga ujiannya. Liburan nanti mau kemana Din?” Tanya Navy saat kami dalam perjalanan pulang setelah ujian terakhir kami selesai.

“Ahh, Nav... aku memutuskan menjalani operasi saat liburan nanti,” jawabku pada Navy. Dia terlihat sangat kaget saat mendengar keputusanku itu.

“Apa kamu yakin? Operasi tak menjamin kelangsungan hidupmu lho!”

“Aku tahu. Tapi diam saja seperti ini juga tak menjamin hidupku akan panjang.”

“Lalu gimana tanggapa om dan tante?”

“Tentu saja mereka khawatir. Tapi tak ada pilihan lain,” aku mencoba untuk mengembangkan senyum di wajahku, walaupun sangat sulit.

“Apa mereka menolak keputusaanmu?”

“Tidak, tidak. Mereka bisa menerima keputusanku, karena tak ada pilihan yang lebih baik dari ini.”

“Lalu Ditya?” Pertanyaan Navy semakin menggebu.

“Ahh, dia.... kemarin dia nyatain perasaannya ke aku. Lagi. Tapi aku bilang gak bisa jawab langsung. Dan dia bilang akan menunggu jawabanku setelah liburan nanti,” jawabku.

“Kenapa gak langsung jawab ‘iya’ aja? Kalian sama-sama suka kan?” Navy tiba-tiba begitu semangat dan tambah gencar dalam bertanya mengenai pernyataan Ditya padaku.

“Nav, saat ini aku seperti dalam kondisi sekarat. Aku gak tahu apakah operasi akan sukses atau gagal, makanya aku belum bisa balas perasaannya. Tapi aku berterimakasih pada Ditya, karena kata sayang yang dia ucapkan saat itu bisa jadi alasanku untuk tetap hidup. Karenanya aku gak boleh mati sebelum menjawab perasaanya. Benar kan?”

“Semua terserah padamu. Aku akan selalu mendukung keputusanmu.”

“Makasih Nav, kamu memang yang terbaik,” kataku sambil memeluk Navy dengan erat. Aku bersyukur memiliki teman sepertinya.

“Jadi kapan jadwal operasimu?” Tanya Navy sambil memgelus kepalaku.

“Ahh, itu.... dua hari lagi,” jawabku dengan gugup. “Nanti aku harus opname di rumah sakit untuk pemeriksaan lagi sebagai persiapan operasi,” imbuhku.

“Apa?! Dua hari lagi? Dan kamu masih bisa tenang-tenang aja ikut ujian? Sumpah ya, apa sih yang ada dalam pikranmu itu? Apa nyawamu itu tidak lebih penting dari pada nilai ujian?” Navy mulai mengomel panjang lebar.

“Hehehehe, persis sama yang dibilang ayah saat aku gotot pingin ikut ujian dan minta operasinya diundur,”  kataku sambil terawa kecil.

Tak terasa obrolan kami harus berakhir, kami tiba tepat di depan pintu pagar rumahku. Untuk sesaat Navy menatap wajahku dengan seksama, lalu dia berkata bahwa dia akan datang menemaniku saat operasiku nanti. Saat itu hatiku seperti berkembang, perasaan bahagia mulai menyelinap di antara kehawatiran yang selama ini memenuhiku.

Perlahan Navy melangkah meninggalkanku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, lalu aku memanggil Navy. Perlahan dia menoleh padaku. “Tolong jangan katakan apapun pada Ditya. Aku tak mau dia melihatku dalam kedaan yang memperihatinkan,” pintaku padanya. Dia hanya memblasku dengan menganggu kecil, lalu pergi.

Aku melangkah melewati halaman rumahku yang tak begitu luas itu dan terhenti tepat di depan pintu rumah yang terbuka lebar. Di garasi samping rumah kulihat ayah sedang menyalakan mobil yang jarang ia pakai itu. Kulangkahkan kakiku melewati pintu depan menuju ke kamarku, di sana aku lihat ibu berkemas untuk keperluan menginap di rumah sakit. “Ahh, sudah waktunya ya?” pikirku saat melihat ayah dan ibuku sibuk mempersaipkan segala sesuatunya.

***

 

Bersambung....

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT