CERBUNG - STAY WITH YOU

Lian 21 Juni 2019 11:31:12 WIB

5. Merenung

 

Hari itu terasa sangat panas. Kami berbaris di tengah lapangan untuk pelantikan pengurus OSIS. Keringat mulai mengucur, suhu terasa sangat pengap dan menyengat kulit. Panas yang terik di bulan Oktober. “Aku harap dapat berteduh di bawah pohon rindang di belakang sana, atau di atas kepala kami ada mendung yang menghalangi teriknya matahari agar tidak sampai pada kami,” pikirku.

“Kapan upacara ini selesai?” aku mulai menggerutu karena kami belum diizinkan beranjak dari lapangan itu. “Tuhan, kalau seperti ini, bisa jadi cumi bakar nih.”

“Tumben diem aja Si Burung Boe nih? Hahahaha kepanasan dia. Kikikik,” kakak kelasku Andre, sebagai senior di OSIS dia selalu jahil padaku. Dia memanggilku ‘Burung Beo’ karena aku terlalu cerewet baginya.

“Diamlah. Panas banget nih. Ampun deh,” sergahku.

“Aih garangnya, emang cewek ini gak bisa lembut dikit aja. Ahahahaha.”

“Cukup ngomongnya? Dasar kerempeng.” Yah, karena pemampilan luarnya memang kurus tinggi dengan rambut jabriknya, hehehehehe. Tapi kulit coklatnya sangat pas dengan penampilannya itu. Dia cowok yang cakep sebenarnya. Walau aku berpikir seperti itu, aku tidak tertarik padanya, karena dia lebih suka menjahiliku.

“Ayolah, jangang galak-galak padaku.”

“Masa bodo! Panas tau, masih digangguin orang macam kamu pula. Jangan ganggu deh.”

“Hahahahahaha, lucu banget ekspresimu.”

Waktu kuhabiskan dengan beradu kata-kata dalam bisikan. ”Yah daripada merasakan panas yang terik, mending aku cari cara supaya gak ngerasa panas,” pikirku.

Aku tak ingat lagi kalau Ditya juga di sana, tepat di sampingku. Kulihat dia hanya tertawa terkikik melihat kami bercek-cok. Dia mulai mentertawakanku sekarang. Tapi memang, bohong kalau aku bilang tak ingin melihatnya tersenyum. Senyumnyalah yang mampu merubah pendirianku, menggoyahkan tekadku.

* * *

Pagi yang sangat senyap, terlalu sunyi untuk kulalui. Apalagi yang akan aku rasakan sekarang? Pikiranku sudah kacau balau dengan kejadian-kejadian yang serba kebetulan mengenai aku dan Ditya.

Lusuh dan nampak tidak bersemangat. “Yah, hari ini Ditya gak ada. Apa dia gak masuk ya? Apa dia lagi sakit ya?” berbagai pertanyaan terlintas di pikiranku. “Tuhan, kuharap tidak ada kejadian buruk yang menimpanya.”  Aku terkejut dengan pertanyaan yang terus berputar di kepalaku, terlebih lagi perasaan  yang sedang menguasaiku. Perasaan cemas.

“Hai Din, kenapa kamu melamun dengan wajah kusut seperti itu?” tiba-tiba Navy mengejutkanku.

“Gak kok, aku gak ngelamun. Aku hanya kepikiran kenapa hari ini Ditya gak masuk?”

“Aih, kamu mencemaskan dia ya? Mmm. . . Kamu suka sama Ditya ya? Ahai.”

“Gak ah. Mana mungkin aku suka sama dia.” Bantahku.

“Udah jangan mengelak terus, jangan membohongi diri sendiri. Sudah cukup kamu jadi orang yang munafik Din.”

Aku tersentak dengan kata-kata Navy, dia seperti menamparku dengan kata-kata tersebut. “Entahlan Nav, aku juga tak tau harus gimana.” Otakku kacau, entah apa yang harus aku lakukan. “Nav hari ini aku bolos ya, jangan bilang sama ayah kalau aku bolos.”

Dengan enggan aku mulai melangkah meninggalkan Navy. Malas untuk menanggapi sapaan dari setiap orang yang aku lewati. Mulai menyelinap keluar dari pagar yang ada di belakang sekolah agar tidak tertangkap oleh Satpam.

Di tempat yang sepi aku memikirkan semuanya, menyendiri dan berharap aku tahu apa yang terjadi padaku. Segalanya yang kupikirkan tertuju pada sosok Ditya. Hanya dia yang memenuhi pikiranku. “Ditya kamu kemana? Apa yang sedang kamu lakukan?” Gumamku dalam kesendiriku.

“Gak lagi ngapa-ngapain kok. Aku baik-baik aja,” suara yang sangat aku kenal yang mengejutkanku.

“Ditya? Kenapa kamu disini? Bukannya hari ini kamu absen?” Pertanyaanku yang beruntut sangat mengejutkannya.

“Aku bangun kesiangan, tadi aku telat. Aku gak boleh masuk sampai jam pelajaran berikutnya. Hahahhaha.”

“Terus ngapain kamu di sini?” tanyaku heran, tapi ajaibnya aku merasa senang dengan kehadirannya. Yah, untuk pertama kalinya.

“Tadi Navy kirim Line padaku, minta tolong padaku buat nyariin kamu. Tidak biasanya kamu bolos.”

“Ah, aku suntuk aja. Ada yang sedang aku pikirkan.”

“Ahai, lagi mikirin aku ya?” Katanya dengan percaya diri, itu salah satu sikap positifnya untuk sejauh ini.

“Mungkin,” jawabku singkat.

Seketika kami terdiam. Di tempat yang sunyi. Tepi kolam ikan milik sekolah dengan kilauan sinar matahari pagi yang terpantul oleh air. Pepohonan rindang di tepi kolam telah menaungi kami. Perasaanku seakan bercampur aduk. Entah apalagi yang harus kuperbuat. Aku tetap bergeming, tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku.

“Dinta, mungkin waktu pertama kita berkenalan aku terlalu lancang, karena langsung menyatakan perasaanku. Tapi aku sudah lama memperhatikanmu. Aku beneran sayang sama kamu. Dinta maukah kamu menjadi cewekku?”

Aku tersentak dengan pernyataan itu. “Ditya, mungkin aku juga sayang sama kamu. Tapi aku gak bisa jadi cewek kamu. Aku belum bisa,” aku berkata dalam batinku. “Ditya, bisa aku lebih mengenalmu dulu? Aku gak ingin kita buru-buru pacaran, sedangkan kita belum saling memahami.” Itulah alasan yang aku ucapkan. Tapi dia tidak tahu alasan sebenarnya, bahwa aku harus menepati janjiku pada ayah. Terlalu kaku memang. Tapi aku harus jadi yang terbaik.

“Tapi kita sudah kenal sejak Ospek, dan itu sudah enam bulan yang lalu.”

“Tapi aku belum benar-benar mengenalmu Ditya. Aku tak pernah mencoba memahamimu sampai saat ini. Jadi kumohon.”

“Ok ok, tapi kumohon jangan menghindar dariku lagi.”

Aku hanya dapat membalasnya dengan senyuman, pikiranku sekarang terasa lebih ringan. Walaupun masih terasa aneh dengan suasana seperti ini. Tapi aku bisa tersenyum dan lebih bahagia dari sebelumnya. CINTA PERTAMA yang sedang kurasakan semoga adalah cinta sejatiku, dan kelak kami dapat selalu bersama. Perasaan yang lugu pada masa SMA.

Yang terpikir hanyalah hal-hal yang menyenangkan dan berharap menemukan kisah dengan happy ending. Aku sama sekali tak memikirkan tentang apa yang akan menghadang jalanku nanti. Pikiran yang belum matang ini tak dapat memikirkannya. Pikiran yang belum dewasa.

Hati yang belum pernah merasakan sakit ini mulai mendorongku untuk terus maju, memperjuangkan perasaan suka yang kumiliki pada Ditya.

Lekat aku memandangi wajah Ditya yang duduk menghadap kolam, tepat di sebelahku. Hanya keheningan yang menemani kami.

 

 

Bersambung....

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT