CERPEN
Lian 19 September 2025 10:46:58 WIB
Gobak Sodor Lumpur
Karya: Wulan Asih
*Cerita ini hanya fiksi belaka, bila ada kesamaan nama atau alur kejadian bukanlah kesengajaan.*
Masa SD adalah masa yang menyenangkan dan polos. Ingatan masa kecil yang lugu dan menggairahkan merupakan ingatan indah nan segar. Berlatarkan tahun dua ribuan, ia menari sebebas burung jalak mengendarai angin. Begitu bebas, riang, dan pandai belajar akan perubahan lingkungan.
“Sih! Asih!” Deru napas memburu Indri yang pontang-panting mengejar langkah Asih, jalan tanjakan menjadi bonus kerja keras gadis berkepang dua yang kini rukuk sambil mengelus dada mengambil udara sebanyak yang ia bisa. “Ih, tungguin!”
“Lah, ngapain kamu lari?” Asih memiringkan kepala, menatap Indri penuh tanya.
“Tungguin, kita berangkat bareng,” ujar Indri sambil berusaha menetralkan irama napasnya, melirik Asih yang tersenyum simpul melihat sahabat baiknya itu bersusah payah mengejar demi bisa berangkat sekolah bersama.
“Tapi rumahmu kan cuma lima menit dari sekolahan.” Terkekeh ringan menikmati perasaan ringan, sungguh menyenangkan menikmati perasaan seperti ini.
“Ya tapi kan aku pengen cerita sesuatu sama kamu. Stt, jangan sampai Nina sama Ratih tau.” Indri berbisik di kalimat pertama, air mukanya yang malu-malu itu menggemaskan.
Kami pun berjalan beriringan, bercerita mengenai banyak hal. Seperti katanya tadi, Indri menceritakan bahwa dia naksir kakak kelas yang semester lalu menjadi juara umum. Ah, jadi ini alasannya kenapa dia tak ingin Nina dan Ratih—sahabat karib Asih dan Indri—tahu bahwa dia menyukai kakak kelas kami.
Sampai di sekolah mereka melewati papan pengumuman di depan ruang guru yang kebetulan ada di sebelah kelas lima. Di sana tertempel pengumuman bahwa minggu depan akan diadakan lomba antar kelas. Lomba ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia.
“Yei, lombanya gobak sodor,” celetuk Indri girang karena lomba kali ini sepertinya akan meriah. Bagaimana tidak? Gobak sodor adalah permainan tradisional yang sering mereka mainkan saat jam istirahat. Permainan ini dimainkan oleh dua tim, yaitu tim penyerang dan tim bertahan. Cukup sulit karena permainan ini membutuhkan pengamatan, kecepatan, kerja sama, dan strategi. Permainan yang cukup menyenangkan dan mengasah otak.
Tim kelas lima—kelas Asih dan kawan-kawan—sudah terbentuk. Mereka memilih orang-orang yang memiliki refleks yang cepat tapi juga cermat.
Hari di mana perlombaan pun tiba. Para guru sengaja mengambil satu hari sebagai pekan olahraga, jadi dari pagi sampai pertandingan selesai mereka tak akan diganggu oleh acara lain. Sialnya, semalam hujan lebat sehingga lapangan di belakang sekolah menjadi kubangan lumpur.
“Ini sih parah.” Nina menggerutu melihat lapangan yang sering mereka gunakan untuk bermain menjadi becek dan licin. Jika seperti ini bahkan mereka bisa koprol mendadak waktu berlari.
“Ya mau gimana lagi? Semalem ujannya deres banget, wajar kalo jadi becek begini.” Ratih memang yang paling kalem di antara teman-teman Asih. Pembawaannya dewasa, tak seperti anak SD pada umumnya. Ia sering menjadi air dalam pertemanan mereka yang menggebu.
“Sepertinya kita lepas sepatu saja, nyeker,” usul Indri sambil garuk-garuk kepala. Sebenarnya dia skeptis dengan usulannya sendiri, melihat kondisi lapangan gundul—belum diperkeras dan tanpa rumput—yang terlihat mirip sawah dadakan. Jika seperti ini bahkan mereka berlari tanpa alas kaki pun masih akan terpeleset.
“Tak apa, ayo kita menangkan lomba kali ini.” Semangat yang menggebu telah membakar Asih. Matanya bagai sinar laser terhunus membidik kepala lawan. Tangannya bahkan ia kepalkan, terangkat setinggi dada saking semangatnya.
Perlombaan pun dibuka dengan menghadapi kelas empat. Seperti yang dibayangkan Nina, sangat sulit berjalan di lapangan yang becek dan licin ini apalagi untuk berlari. Terpeleset, terjungkal pun sudah biasa.
Kelas lima mendapat undian harus berjaga. Asih ditempatkan di garis pertama, agak sulit karena garis yang dia jaga tepat di atas kubangan lumpur. Dia kesulitan bergerak menghadang para penyerang.
“Akh!” Bukan. Itu bukan Asih, melainkan salah satu penyerang yang berhasil melewati garis yang dijaga Asih. Dia terpeleset tepat setelah berhasil membobol pertahanan Asih, lebih tepatnya terjungkal dan berakhir dia telentang di atas lumpur. Seragam olahraga berwarna biru muda yang dikenakan anak itu jadi cokelat, masih enggan bangun. Sepertinya dia masih mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi ejekan kawan-kawannya setelah adegan memalukan tadi.
Setelah kesadarannya terkumpul anak itu bangkit dan kembali ke posisi di mana dia harus menghindari tangkapan Asih juga harus berusaha menerobos garis selanjutnya. Penyerang berikutnya masuk, tapi sama saja tak mudah karena selain penjagaan dari tim Asih kondisi lapangan juga tak menguntungkan kedua tim. Sama saja.
Kelas lima memenangkan pertandingan kali ini. Sayangnya, di putaran berikutnya mereka berhadapan dengan kakak kelas sehingga mereka harus menelan pil pahit. Tentu saja, mereka lebih tinggi sehingga jangkauan tangan mereka lebih jauh dan lari mereka lebih gesit.
Tak apa, yang namanya kalah dan menang itu hal yang lumrah. Paling tidak mereka mendapat pengalaman dan kesenangan, sekaligus berlatih berlapang dada menerima kekalahan. Itu juga sesuatu yang patut dipelajari agar tak terjebur dalam dengki, atau malah keputusasaan.
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Kemarin | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Pengunjung | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |