CERPEN
Lian 19 September 2025 10:46:42 WIB
Turnamen Horor
*Cerita ini hanya fiksi belaka, bila ada kesamaan nama atau alur kejadian bukanlah kesengajaan.*
Hah, sudah orang ketiga yang mencoba mengobati—mengeluarkan makhluk yang merasuki—pemain tersebut tapi gagal. Kalau seperti ini kapan selesainya? Apalagi dari luar sudah ada satu lagi orang yang digotong masuk ke sekretariat, itu salah satu penonton.
Aku embuskan napas lelah. Berdiam diri karena malas pun tak menyelesaikan masalah.
“Mm … Mas, boleh nggak aku nyoba?” Aku menunjuk pada pemain yang makin kalap. Orang yang aku ajak bicara hanya mengangguk, terlihat sekali dia kepayahan memegangi pemain kesurupan ini.
Tanpa pikir panjang aku tekan dahinya, lebih tepatnya bagian pertemuan kedua alis pemain yang kesurupan itu. Dia menggeliat, tak nyaman khas orang kesurupan yang dipaksa dipisahkan dari makhluk yang merasukinya. Tentu saja itu tak mudah bagiku, lihat saja badanku yang kecil. Sebesar apa tenaga perempuan sampai bisa mengalahkan tenaga lelaki? Dalam kondisi kesurupan lagi.
Babi, umpatku saat aku ditendang oleh orang kesurupan itu. Salahku karena aku berjongkok tepat di hadapannya. Posisi dia berbaring sangat strategis sekali untuk menendangku.
Tanpa pikir panjang aku naik dan menduduki perutnya, mengabaikan norma dan melupakan kenyataan bahwa gender kami berseberangan. Siapa yang sempat memikirkan itu dalam kondisi carut-marut seperti ini? Daripada aku sakit kena tendang lagi, lebih baik menahan malu.
“Siapa yang nyuruh kamu merasuki orang ini? Keluar kamu,” perintahku saat aku dapat kendali mengunci gerakan pemain itu.
Tidak ada jawaban, hanya gerak mata gelisah yang aku lihat. Lalu, aku mengganti pertanyaanku.
“Kembali kamu ke asal. Kamu ganggu di sini.” Aku masih tak melepaskan tekananku pada dahi pemain yang kesurupan tadi, memaksanya mengalah.
“Aku wedi. Aku wedi.” Hanya itu yang dia katakan. Berulang kali sambil menggeleng dan mata menatap ke sana kemari gelisah.
Aku coba paksa terus, hampir saja dia mengaku siapa yang mengirimnya. Namun, tiba-tiba seorang paruh baya merebut pekerjaanku. Sial, sedikit lagi.
Aku tatap pria paruh baya tersebut dari atas sampai bawah. Terlihat biasa saja. Badannya bahkan tak lebih tinggi dariku, tapi aku merasa aneh saat menatap air mukanya. Meski tenang tapi sorot matanya dalam seperti menyimpan sesuatu.
Pada dasarnya aku memang tak suka berkeringat, aku pun angkat tangan pada kekacauan itu. Biarlah diurusi orang yang lebih mengerti tentang hal mistis.
Meski sempat bernapas lega karena pemain yang kerasukan itu sadar, tapi ternyata kondisi itu menular. Orang yang kesurupan jatuh satu per satu. Sadar satu, tumbang lagi satu. Tidak ada habisnya sehingga para panitia dibantu warga setempat memutuskan untuk berjaga sampai subuh, sampai keadaan benar-benar aman dari kerasukan.
Baru kali itu turnamen voli berubah jadi kesurupan massal. Belakangan diketahui akar masalahnya adalah penonton yang sama-sama mengirim bantuan tak kasat mata dan akhirnya bentrok. Bukannya menang pertandingan, pemain malah kesurupan.
Lucu kalau diingat. Taruhan yang tak seberapa malah merugikan banyak orang.
Apa kang cinipta dadi, nanging apa sing ora adhedhasar watak becik bakal ngrusak tatanan.
Jangan menghalalkan segala cara demi mengejar kepuasan atau demi memuaskan pandangan orang lain. Semua sudah ada takarannya. Seperti peribahasa mburu uceng kelangan deleg, jangan sampai kehilangan sesuatu yang berharga hanya demi mengejar keuntungan yang tak seberapa.
Tamat
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Kemarin | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Pengunjung | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |