Cerita Tenlit - CERPEN
Nusa H 15 Juli 2025 10:10:56 WIB
EMPATI YANG TERLAHIR DARI AIR MATA
Rian menatap layar komputernya dengan mata berkaca-kaca. Di hadapannya terpampang email penerimaan beasiswa penuh untuk program pascasarjana psikologi anak di Universitas Harvard. Tangannya bergetar saat membaca kalimat demi kalimat yang terasa seperti mimpi. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke lorong-lorong sekolah dasar yang dulu menjadi neraka kecilnya.
Lima belas tahun yang lalu, Rian adalah anak kecil berusia delapan tahun dengan tubuh kurus dan kacamata tebal. Seragam sekolahnya selalu kusut karena sering didorong dan dijatuhkan oleh teman-temannya. Budi, anak paling populer di kelas, adalah dalang dari semua penderitaan itu.
"Hei, Rian Kacamata Tebal! Kemari!" teriak Budi suatu pagi di halaman sekolah. Anak-anak lain tertawa mengelilingi mereka. Rian mendekati dengan langkah ragu. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi, tetapi tidak punya pilihan lain.
"Kerjakan PR matematikaku, atau tas barumu ini akan aku buang ke got," ancam Budi sambil merampas tas baru miliknya.
"Tapi, Bud, aku juga belum selesai mengerjakan PR-ku sendiri," jawab Rian dengan suara hampir tidak terdengar.
"Aku tidak peduli! Kamu kan paling pintar di kelas. Kerjakan sekarang juga!"
Setiap hari, Rian menghadapi intimidasi serupa. Ia dipaksa mengerjakan tugas teman-temannya, memberikan uang jajannya, bahkan menjadi sasaran lelucon kejam di depan kelas. Guru-guru tampak tidak peduli, menganggap itu hanya ‘kenakalan anak-anak biasa’.
Bu Sari, wali kelas mereka, bahkan pernah berkata, "Rian, kamu harus belajar bersosialisasi. Jangan terlalu serius terus." semenjak matanya memandang hanya Rian sendirian yang jarang bergaul dengan teman-teman lainya.
Pulang sekolah, Rian sering menangis sendirian di kamarnya. Ayahnya yang bekerja sebagai tukang ojek dan ibunya yang berjualan gorengan di warung kecil, terlalu sibuk mencari nafkah untuk menyadari penderitaan putra mereka. Suatu sore, ketika Rian sedang membaca buku di perpustakaan sekolah, Pak Joko, petugas kebersihan, menghampirinya.
"Nak Rian, kenapa mukamu sedih terus?" tanya pria paruh baya itu dengan lembut. Rian mendongak, matanya sudah berlinang air mata. "Pak Joko, kenapa orang-orang suka menyakiti orang lain?" kalimat lugu itu seolah menyuruh sapu di tangannya untuk berhenti sejenak.
Pak Joko duduk di samping Rian. "Kamu tahu, Nak, kadang orang yang menyakiti orang lain sebenarnya sedang kesakitan juga di dalam hatinya."
"Maksud Bapak?" tentu anak kecil ini memerlukan pemahaman yang lebih untuk bisa mencernanya.
"Budi yang sering mengganggumu itu, ayahnya sering marah-marah di rumah. Aku dengar dari tetangganya. Mungkin dia tidak tahu cara mengekspresikan rasa sakitnya, jadi dia luapkan ke kamu.” Rian terdiam, mencoba memahami kata-kata Pak Joko.
"Tapi ingat, Nak, rasa sakit yang kamu alami sekarang bisa menjadi kekuatan besarmu nanti. Kamu akan mengerti perasaan orang lain lebih dalam daripada siapa pun." lanjut Pak Joko sembari tersenyum dan berbincang ringan sebelum meanjutkan kembali tugasnya.
*****
Tahun-tahun berlalu. Rian tetap mengalami perundungan hingga SMA, tetapi ia mulai melihatnya dengan perspektif berbeda. Ia mengamati perilaku teman-temannya, mencoba memahami alasan di balik kekejaman mereka. Ia menulis jurnal setiap hari, mendokumentasikan perasaannya dan analisis tentang psikologi manusia.
Di bangku kuliah, Rian memilih jurusan psikologi. Dosen-dosennya terkesan dengan empati dan pemahamannya yang mendalam tentang trauma dan penderitaan manusia. Ia selalu menjadi mahasiswa terbaik, tidak karena ingin membuktikan diri, tetapi karena benar-benar memahami materi dari pengalaman hidupnya.
"Pak Rian memiliki intuisi yang luar biasa dalam memahami pasien," kata Dr. Amanda, dosen pembimbingnya, kepada rekan sejawat. "Seperti dia pernah merasakan sendiri apa yang dialami pasien-pasiennya."
Setelah lulus sarjana dengan predikat summa cum laude, Rian bekerja di sebuah klinik psikologi anak. Kasus pertamanya adalah Diva, anak berusia sepuluh tahun yang mengalami trauma berat akibat perundungan di sekolah.
"Tidak ada yang mengerti aku!" teriak Diva saat sesi pertama konseling.
Rian duduk tenang di hadapan anak itu. "Aku mengerti, Diva. Aku sangat mengerti."
Ada sesuatu dalam nada suara Rian yang membuat Diva berhenti menangis. "Benarkah, Kak?"
"Ya. Kakak juga pernah mengalami hal yang sama seperti kamu. Dipukul, diejek, dikucilkan. Rasanya seperti dunia ini tidak adil, kan?"
Diva mengangguk perlahan.
"Tapi kamu tahu apa? Semua rasa sakit itu kelak akan menjadi kekuatan terbesarmu. Kamu akan menjadi orang yang paling peduli dengan penderitaan orang lain."
Dalam tiga bulan, Diva menunjukkan kemajuan luar biasa. Ia tidak hanya pulih dari traumanya, tetapi juga menjadi anak yang sangat empatik dan peduli pada teman-temannya.
Keberhasilan Rian menangani berbagai kasus trauma anak membuatnya dikenal luas. Ia menulis beberapa artikel ilmiah tentang terapi trauma yang dipublikasikan di jurnal internasional. Penelitiannya tentang "Transformasi Trauma Menjadi Kekuatan Empati pada Anak" menjadi rujukan bagi psikolog di seluruh dunia.
Suatu hari, Rian menerima telepon yang mengejutkannya.
"Selamat siang, saya dari Harvard University. Kami tertarik dengan penelitian Anda dan ingin menawarkan beasiswa penuh untuk program doktor..."
Rian hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Harvard, universitas impiannya sejak kecil, mengundangnya untuk bergabung.
Sebelum berangkat ke Amerika, Rian memutuskan untuk mengunjungi sekolah dasarnya. Ia ingin bertemu dengan Pak Joko, orang yang pertama kali membuka matanya tentang makna di balik penderitaan.
Di perpustakaan sekolah yang sama, ia menemukan Pak Joko yang kini sudah beruban.
"Pak Joko, masih ingat saya?"
Pak Joko menatapnya lekat-lekat, kemudian tersenyum lebar. "Rian! Anak kecil yang dulu sering baca buku di sini. Lihat kamu sekarang, sudah besar dan tampan."
"Pak, dulu Bapak bilang rasa sakit bisa menjadi kekuatan. Ternyata Bapak benar." Rian menceritakan perjalanan hidupnya. Pak Joko mendengarkan dengan mata berbinar. "Aku bangga padamu, Nak. Kamu sudah membuktikan bahwa setiap cobaan ada hikmahnya."
"Sebenarnya, saya ingin bertemu juga dengan Budi," kata Rian. "Apakah Bapak tahu kabarnya?"
"Budi ya... Anak itu sekarang jadi guru di SD Bintang Karsa. Katanya dia sering menyesal dengan perbuatannya dulu."
****
Keesokan harinya, Rian mendatangi SD tempat Budi mengajar. Pria yang dulu menjadi momoknya itu kini terlihat dewasa dengan wajah lelah.
"Rian?" Budi tampak terkejut. "Maafkan aku... aku..."
"Tidak apa-apa, Bud," potong Rian dengan senyum tulus. "Aku justru ingin berterima kasih."
"Berterima kasih? Untuk apa?"
"Karena perlakuanmu dulu, aku belajar memahami rasa sakit. Sekarang aku bisa membantu anak-anak yang mengalami hal serupa. Aku akan melanjutkan studi di Harvard untuk penelitian trauma anak."
Budi menangis. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menyesal, Rian. Sungguh menyesal."
"Yang penting sekarang kita sama-sama bisa berbuat baik untuk anak-anak lain, kan?"
Hari ini, Rian duduk di pesawat menuju Boston. Di dalam tasnya tersimpan email penerimaan dari Harvard dan foto lama dirinya saat masih menjadi anak kecil yang sering menangis.
Ia tersenyum mengingat kata-kata Pak Joko: "Rasa sakit bisa menjadi kekuatan terbesar."
Kini ia mengerti. Setiap air mata yang pernah ia tumpahkan, setiap rasa sakit yang pernah ia rasakan, telah membentuknya menjadi seseorang yang mampu menyembuhkan luka-luka serupa pada jiwa-jiwa kecil lainnya.
Jejak luka masa lalunya telah berubah menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi anak-anak lain yang terluka. Dan ini baru permulaan dari keajaiban yang akan ia ciptakan.
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Kemarin | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Pengunjung | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |