cerita tenlit - CERPEN
Nusa H 12 Juli 2025 21:30:26 WIB
SINAR REMBULAN
Kala rembulan yang kini mulai menghiasi langit malam itu dengan penuh harap akan bintang yang tak kunjung menampakkan dirinya. Segala sesuatu kini berubah semakin runyam tak karuan. Bahkan teman yang kini sedang mabuk kepayang di sampingnya menatapnya dengan pandangan penuh cinta.
"Kau kerasukan sesuatu?" Pria dengan umur 28 tahun—lebih tua darinya—itu bertanya sambil mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dingin.
Andi menoleh ke arah Bayu, sahabat sejak kuliah yang kini duduk terkulai di bangku taman kota. Mata Bayu merah dan berkaca-kaca, bukan karena air mata, tetapi karena alkohol yang telah mengalir deras dalam tubuhnya sejak sore tadi.
"Aku tidak kerasukan apa-apa, Bay. Justru aku merasa seperti baru saja tersadar dari mimpi panjang," jawab Andi pelan, matanya masih menatap langit yang gelap.
Bayu terkekeh, suaranya serak dan pahit. "Tersadar? Dari apa? Dari kehidupan yang sudah kita jalani bertahun-tahun ini?"
"Ya, mungkin."
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma hujan yang akan segera turun. Andi menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. Tiga jam yang lalu, ia baru saja keluar dari kantor dengan surat pengunduran diri di tangan. Pekerjaan yang selama lima tahun ia tekuni sebagai akuntan di perusahaan multinasional itu tiba-tiba terasa hampa dan tidak bermakna.
"Kau gila, Andi," gumam Bayu sambil menggoyang-goyangkan botol bir kosong di tangannya. "Meninggalkan pekerjaan bergaji besar hanya karena ingin mengejar mimpi konyol menjadi guru."
"Mimpi konyol?" Andi menoleh dengan tatapan tajam. "Bayu, kita sudah berteman hampir sepuluh tahun. Kapan terakhir kali kau melihatku benar-benar bahagia?"
Bayu terdiam, otaknya yang tumpul karena alkohol berusaha mengingat-ingat.
"Aku akan memberitahumu," lanjut Andi. "Terakhir kali aku bahagia adalah saat mengajar anak-anak di panti asuhan tiga bulan lalu. Saat volunteer itu, aku merasa hidup."
"Hidup?" Bayu tertawa sinis. "Kau bisa hidup karena gajimu yang besar itu, bukan karena mengajar anak-anak yang tidak punya apa-apa."
Andi bangkit dari bangku, berdiri tegap di bawah sinar rembulan. "Bay, kau tahu tidak mengapa aku memilih jadi akuntan dulu?"
"Karena bergaji besar?"
"Salah. Karena aku takut miskin seperti orang tuaku. Ayahku guru SD, ibuku guru TK. Mereka tidak pernah punya uang berlebih, tetapi mereka adalah orang-orang yang paling kaya yang pernah kukenal."
Bayu menatapnya bingung. "Kaya? Mereka kan miskin."
"Kaya akan kebahagiaan, Bay. Kaya akan kepuasan batin. Setiap hari ayahku pulang dengan cerita tentang murid-muridnya yang berhasil memahami pelajaran. Ibuku selalu tersenyum saat menceritakan tingkah lucu anak-anak TK. Mereka hidup dengan tujuan yang jelas: mendidik generasi bangsa."
Andi duduk kembali, kali ini lebih dekat dengan Bayu. "Sedangkan aku? Setiap hari hanya menghitung angka-angka di komputer, membuat laporan keuangan untuk orang-orang kaya yang bahkan tidak pernah tersenyum padaku."
"Tapi gajimu..."
"Gaji besar tidak ada artinya jika jiwa kosong, Bay."
Rembulan kini semakin terang, seolah-olah mendukung keputusan Andi. Di kejauhan, terdengar suara anak-anak yang masih bermain meski malam telah larut. Suara tawa mereka mengalir di udara, membuat Andi tersenyum untuk pertama kalinya hari itu.
"Kau ingat Sara?" tanya Andi tiba-tiba.
Bayu mengangguk lemah. Sara adalah mantan kekasih Andi yang meninggalkannya dua tahun lalu.
"Dia pergi bukan karena tidak cinta, tetapi karena dia bilang aku seperti robot. Bekerja, pulang, tidur, bangun, bekerja lagi. Tidak ada gairah, tidak ada mimpi, tidak ada kehidupan sejati."
"Sara memang keterlaluan meninggalkanmu."
"Tidak, Bay. Dia benar. Aku memang sudah seperti mayat hidup."
Bayu mencoba berdiri, tetapi tubuhnya oleng. Andi segera menahan tubuh sahabatnya itu.
"Andi, aku takut kau akan menyesal," bisik Bayu dengan suara gemetar. "Pekerjaan seperti yang kau miliki tidak mudah didapat."
"Dan kebahagiaan seperti yang kurasakan saat mengajar juga tidak mudah didapat."
Hujan mulai turun rintik-rintik. Keduanya bergegas mencari tempat berteduh di sebuah warung kopi yang masih buka. Pemilik warung, seorang ibu paruh baya, menyapa mereka dengan ramah.
"Malam-malam begini kok masih berkeliaran, Nak?"
"Sedang mencari jawaban, Bu," jawab Andi sambil memesan dua cangkir kopi hangat.
"Jawaban untuk apa?"
"Tentang hidup."
Ibu itu tersenyum bijak. "Hidup itu sederhana, Nak. Yang penting berbuat baik dan berguna untuk orang lain."
Bayu yang kini agak sadar karena udara dingin menoleh ke arah Andi. "Kau dengar itu?"
"Ya, dan itu memperkuat keyakinanku."
Mereka duduk dalam diam, menyesap kopi hangat sambil mendengarkan suara hujan yang semakin deras. Andi merogoh tas dan mengeluarkan sebuah surat.
"Ini surat penerimaan dari Dinas Pendidikan," katanya pelan. "Mereka menerima lamaran mengajarku di SD Negeri 15, tempat yang sangat membutuhkan guru."
Bayu membaca surat itu dengan mata yang masih sayu. "Gajinya... sepersepuluh dari gaji lamamu."
"Tapi kepuasannya tidak terhingga."
"Andi, aku masih tidak mengerti mengapa kau melakukan ini semua."
Andi menatap mata sahabatnya dalam-dalam. "Bay, aku ingin seperti ayah dan ibuku. Aku ingin setiap hari memiliki cerita indah untuk diceritakan. Aku ingin melihat mata anak-anak berbinar saat mereka memahami sesuatu yang baru. Aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri."
Hujan mulai mereda. Rembulan kembali menampakkan diri, kali ini lebih cerah dari sebelumnya. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu, seolah-olah memberikan restu atas keputusan Andi.
"Kau tahu, Bay, sejak kecil aku bermimpi menjadi guru. Tapi kemudian aku terjebak dalam obsesi mencari uang dan status. Malam ini, aku memutuskan untuk kembali pada impian sejatiku."
Bayu mengangguk perlahan, kini ia mulai memahami sahabatnya. "Kalau begitu, aku mendukungmu, And. Mungkin aku juga perlu mencari makna hidup yang sesungguhnya."
Mereka berjabat tangan di bawah sinar rembulan yang menyaksikan perubahan besar dalam hidup kedua sahabat itu. Malam itu bukan hanya rembulan yang bersinar terang, tetapi juga harapan baru yang mulai tumbuh dalam hati Andi.
Keesokan harinya, Andi akan memulai babak baru dalam hidupnya sebagai seorang guru. Ia yakin bahwa keputusan ini akan membawanya pada kebahagiaan sejati yang selama ini dicarinya
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Kemarin | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Pengunjung | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |