CERBUNG - MELINTASI JALUR BENANG MERAH

Lian 21 Maret 2024 10:31:57 WIB

BAB VI (1)

 

Angin musim penghujan bertiup kencang bersama butiran-butiran air yang menetes dengan keras seperti bisa menghancurkan sebuah batu. Suara petir meredam bisingnya kemarahan Surya, keluarga Handoko terguncang oleh pengakuan Aldi. Siapa yang akan melepaskan emas di genggamannya? Siapa yang akan meninggalkan tanah yang makmur dan menuju tempat yang tandus? Aldi melakukannya dengan kesadarannya sendiri. Keputusan yang dia ambil menjadi pemantik kemurkaan Surya.

“Bocah kurang ajar, sebenarnya apa yang kamu lihat dari janda itu?! Lucy ratusan kali lebih baik daripada wanita itu, dia masih gadis, anak orang terpandang dan derajatnya setara dengan kita.” Suara Surya terdengar di sela-sela gemuruh hujan dan angin yang mengamuk di luar rumah. Ekspresi keras di wajah pria paruh baya itu bagai mampu menelan nyali siapa pun yang menentangnya dengan aura menakutkan yang menguar dari sosok Surya. Kali ini ayah dua anak itu benar-benar marah besar pada Aldi.

“Jangan bodoh, Aldi. Mau jadi apa kamu kalau keluar dari keluarga ini? Kamu tak bisa apa-apa tanpa kami, kamu akan jadi gelandangan. Tarik kembali niat bodohmu itu?” Ike sangat terpukul dengan ucapan Aldi barusan. Ia tak menyangka bahwa putra manjanya mengatakan akan pergi meninggalkan rumah dan memutus semua ikatan dengan keluarganya bila tetap dipaksa untuk menikahi Lucy. Itu merupakan keputusan besar yang diambil oleh anak yang selama ini hanya tahu menengadahkan tangan pada orang tuanya.

“Sepertinya kalian sudah buta. Siapa yang selama ini membuat Aldi jadi seperti ini? Siapa yang selama ini menjejali Aldi dengan materi? Apa menurut Bapak dan Ibu nilai Aldi bisa diukur dengan semua uang-uang itu?” Aldi tidak mengurangi kerasnya intonasi suaranya. Kemarahan membuatnya ingin memaki dan mengumpat.

“Jaga bicara kamu, Aldi! Beraninya kamu bilang seperti itu pada orang tuamu!” Surya geram dengan Aldi yang sudah berani menentangnya. Ia tak menyangka anak manja yang selama ini ia besarkan akan menggigit tangannya.

“Orang tua? Sepertinya orang tuaku adalah uang, karena mereka yang membesarkan Aldi selama ini. Apa Bapak kira dengan uang Aldi akan tumbuh dengan layak? Tidak, Pak. Aldi lebih butuh pengakuan, dukungan secara moral agar Aldi mengepakkan sayap yang selama ini lumpuh karena terlalu lama terkurung. Persetan dengan uang-uang Bapak, Aldi sudah muak!” Aldi tak ingin munafik, ia memang menikmati semua uang yang diberikan orang tuanya. Ia menggunakannya untuk membeli minuman, menyewa wanita, untuk bersenang-senang. Tapi dalam dasar hatinya, Aldi ingin diakui sebagai pribadi yang dewasa dan mandiri di mana pemikiran dan cita-citanya diakui. Aldi tak ingin selalu disuapi dengan sendok perak, ia butuh pengalaman mandiri, terlepas dari keputusan yang dibuat oleh Surya dan Ike untuknya.

“Sepertinya kamu yang sudah buta, Aldi. Apa yang diperbuat janda itu padamu hingga menentang keluargamu sendiri, Nak?” Ike sudah menangis. Hatinya meraung mendapati putranya memberontak, tak seperti Aldi yang biasanya.

“Haha, kenapa jadi menuduh orang sembarangan? Aldi merasa Bapak dan Ibu menjadi aneh setelah kalian mengenal Lucy. Kenapa kalian sangat ingin Aldi menikah dengannya? Apa hebatnya dia? Hanya gadis manja yang bisa hidup karena kekayaan keluarganya.” Aldi tertawa kering, menertawakan keluarganya yang terlihat konyol di matanya. Apakah masuk akal menjual anaknya sendiri demi mempertahankan kehidupan yang layak?

 

 

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT