CERBUNG - MELINTASI JALUR BENANG MERAH

Lian 19 Maret 2024 09:11:35 WIB

BAB V (2)

 

Santi kira urusan mereka sudah selesai dengan kembalinya uang yang ia keluarkan untuk biaya operasi Aldi, nyatanya pemuda itu malah setiap hari mendatanginya dengan membawa makanan, buah atau buket bunga. Santi menghadapinya dengan berusaha tetap sabar, ia memperlakukan Aldi seperti adiknya sendiri. Dalam pikiran Santi, Aldi hanya menggodanya saja dan tak serius, seperti bocah remaja yang akan cepat menyerah bila diabaikan.

Awalnya Santi mengira kalau Aldi akan bosan dan dengan sendirinya berhenti mengganggu dirinya, namun persepsi Santi salah, Aldi malah semakin getol mendekatinya. Ia tak tahu kalau Aldi ternyata cukup keras kepala dan tak tahu kapan harus menyerah. Sifat kalem dan tak mau ribut yang ditunjukkan Santi ternyata disalah artikan oleh Aldi. Tutur lembut dan hati-hati Santi tak mampu membuat pemuda itu mengerti maksud yang sesungguhnya, bahwa Santi risi diperlakukan seperti ini dan merasa terbebani.

“Cukup Aldi, kamu tidak perlu lagi seperti ini. Mbak sudah cukup menerima ucapan terima kasih kamu. Uang Mbak juga sudah kamu kembalikan, jadi jangan ganggu Mbak lagi.” Tutur lembut seperti biasanya. Santi selalu mengulang kalimat yang sama, namun Aldi terlalu bebal untuk mengerti jenis penolakan seperti itu.

Aldi masih mengejar-ngejar Santi, tak peduli kakinya yang pincang terasa ngilu. Pemuda itu seperti anak ayam yang sedang mengikuti induknya, ia tak menyadari bahwa akan ada badai kemarahan yang menerpanya.

Aldi tak merasakan bila beberapa hari terakhir dia diintai, diawasi dan diuntit ke mana pun ia pergi. Orang yang menguntitnya menatap wanita yang selalu ditemui Aldi dengan tatapan permusuhan penuh kebencian. Tak tahan dengan perasaan cemburu yang bergejolak di dadanya, penguntit itu berencana melabrak Santi dan memainkan sedikit drama.

“Aldi, apa yang kamu lakukan? Kamu tega banget sama aku yang udah jelas mencintai kamu dengan tulus.” Air mata berderai membasahi pipi tirus orang yang amat familier di mata Aldi, orang yang selalu berhasil membuat Aldi ingin mencampakkannya ke jalan dan mencemooh karena sifat tebal mukanya.

“Lucy, kenapa kamu di sini? Dan apa-apaan ucapanmu tadi? Kita bahkan tak punya hubungan apa pun sampai sekarang … jangan membuatnya seakan aku berselingkuh di belakangmu!” Aldi tetap teguh dengan apa yang ia percayai, bagai batu yang tak akan goyah meski diterpa ombak lautan sekalipun.

“Aku … aku ….” Ekspresi merana yang luar biasa membuat orang-orang yang sedang berkunjung ke toko kain itu merasa kasihan pada Lucy. Lelehan air mata yang terus mengalir membuat hati orang-orang ikut teriris dan merasakan sakit hati Lucy.

“Keterlaluan kamu, Aldi! Apa seperti itu caramu memperlakukan calon istri kamu?” Wanita paruh baya yang mengenakan pakaian warna biru tua itu berdiri angkuh di ambang pintu toko, menyaksikan Alsi memperlakukan calon mantu pilihannya dengan sangat keterlaluan.

“Calon istri? Dia adalah pilihan Ibu, bukan pilihanku! Berhenti memaksakan kehendak Ibu ke Aldi!” Aldi bukan sebuah alat yang harus selalu diperintah baru mau bergerak. Ia bisa berpikir dan mempunyai kehendak sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Aldi yakin bahagia dengan pilihannya, daripada mengikuti kemauan orang tuanya yang akhir-akhir ini bersikap aneh, mendesak Aldi untuk menjalin hubungan dengan Lucy.

“Lucy itu anak baik-baik, Aldi. Putri dari keluarga terpandang yang asalu-usulnya jelas, beda dengan janda yang sedang kamu kejar-kejar itu.” Ike menunjuk Santi yang hanya mematung sejak Lucy memulai keributan.

 

 

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT