CERPEN

Lian 30 Desember 2023 23:38:14 WIB

Antara Bego dan Horor

Oleh: Li Lian Chris

 

Untung saja om-om serem itu kelihatan nyaman dengan posisinya sehingga bergeming kala aku buru-buru meninggalkan tempat terjal itu. Aku membawa kaki kecilku yang lelah, langkah gontaiku menyusuri tanjakan-tanjakan yang harusnya cukup sulit dilalui anak seumuranku, tapi entah mengapa aku mampu. Apa mungkin karena aku tak sadar lelah akibat sesenggukanku mendambakan ibu.

Hidungku tersumbat ingus, sesekali aku mengusap air mata dan ingusku dengan tangan. Perlahan tapi pasti mendekati ladang milik keluargaku. Aku masih ingat saat itu ibu menggunakan daster biru dengan motif bunga besar di bagian depan sedang berdiri merunduk menanam kacang.

Sepertinya tangisku cukup keras sampai ibuku mendengar, padalah jarak kami masih cukup jauh, sekitar 50 meteran. Ibu langsung tergopoh menghampiriku saat tahu aku menangis memanggil-manggil namanya. Ia langsung menggendongku sambil terus menenangkanku.

Sebenarnya aku sendiri tak yakin dengan ingatanku mengenai usia berapa kala hal itu terjadi, tapi menurut ibuku saat itu aku baru berusia sekitar 3 tahun. Sejak saat itulah orang tuaku tak membiarkan aku berada di rumah sendirian hingga usiaku cukup untuk masuk TK.

Yang jadi pertanyaanku adalah kenapa Asih tak tahu aku ke ladang menyusul ibu, padahal aku sudah titip pesan pada kakak kuncir dua? Beberapa tahun kemudian aku makin aneh karena kakak itu tak tumbuh seperti aku tumbuh, tapi ya sudahlah, pikiran anak-anak sangat simple dan mudah lupa.

Tahun berganti, saat itu adik ipar nenekku meninggal. Kalau tidak salah ingat aku baru masuk SD kala itu. Aku dan para sepupuku belum tahu apa itu sedih karena kehilangan. Keceriaan yang polos malam itu membawa kami bermain-main sambil haha-hihi. Kalian pasti tahu suasana rumah duka seperti apa, tiba-tiba dingin dan mencekam bercampur kemelut kesedihan. Sedikit banyak kami merasa hawa itu tapi tak tahu harus bagaimana, sampai malam makin larut salah dari kami tak sengaja melongok ke halaman samping di mana ada jalan setapak menuju rumah duka. Di ujung jalan yang terlihat oleh mata kami, di bawah remang lampu penerangan jalan kami melihat sesuatu berdiri tegak berwarna putih.

“Eh, liat itu poci.” Salah satu sepupuku memberi tahu kami mengenai sosok apa yang berdiri di ujung jalan. Sosok itu bergeming, bahkan sampai beberapa menit tak kunjung hilang padahal kami sempat ngumpet lalu mengintip lagi. Saat kami tanyakan pada orang-orang dewasa yang sedang mendoakan almarhum ternyata mereka tak melihat apa pun. Apa yang terjadi? Begitulah yang kami pikirkan saat itu.

Sampai saat ini pun aku masih merasa konyol dengan keberanian kami yang tak tahu apa-apa saat itu.

Sebenarnya hal itu bukan terakhir kalinya aku bertemu orang tembus pandang.

Tahun-tahun berikutnya aku malah makin sering bertemu mereka. Area mainku yang makin jauh membuatku bertemu beragam orang tembus pandang. Yang paling sering adalah gadis berkuncir dua yang dulu kupanggil kakak, om poci, tante kunti yang ada di rumah kakek, atau om wowo yang berdiam diri di bawah pohon pule di sebelah rumah. Apa kalian bertanya apa aku takut? Tidak, aku belum  tahu kalau mereka bukan manusia. Aku tak tahu kalau mereka tak sama denganku.

 

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT