CERPEN

Lian 30 Desember 2023 23:37:51 WIB

Antara Bego dan Horor

Oleh: Li Lian Chris

 

Kalian pasti familiar sama tante kunti, om wowo, poci, dan sebagainya. Yah, mereka bisa dibilang tetangga manusia. Teman mainku juga kalau kalian ingin tahu.

Kisah komedi horor yang membagongkan ini berawal dari zaman aku balita. Saat itu aku berumur sekitar 3 tahunan, aku rasa segitu, aku sendiri lupa-lupa ingat. Mohon dimaklumi, ingatanku cuma rata-rata di bawah pentium dua.

Saat itu orang tuaku sering menitipkan aku ke tetangga yang kebetulan punya anak sepantaran anak SD. Sebagai petani mengharuskan orang tuaku sering ke ladang atau sawah kala masa tanam tiba, kebetulan saat itu sedang musim tanam kacang sehingga aku ditinggal ke ladang. Di rumah sendiri? Tentu tidak, ada Asih anak tetangga yang usianya jauh di atasku diminta ibu menemaniku di rumah.

Saat itu aku diajak main petak umpet oleh Asih, dia berusaha mengalihkan perhatianku agar aku tidak mencari orang tuaku yang sedang berladang. Kebetulan Asih-lah yang jadi dan aku yang bersembunyi. Aku memilih masuk ke kamar dan bersembunyi di kolong meja, berharap Asih tak menemukanku. Namun alih-alih Asih, kakak berkuncir dua kanan kiri itu terlihat pucat meski tawanya riang berjongkok dan menemukanku. Seingatku saat itu kakak itu lebih tua sedikit dariku, mungkin sekitar usia 5 tahunan. Dia tersenyum ke arahku yang berjongkok di bawah meja. Agak aneh memang melihat tubuhnya terbalut terusan merah muda itu tembus pandangan, tapi tak ada prasangka apa pun terhadapnya meski aku tak tahu siapa dan dari mana dia.

“Ugh, aku pengen nyusul ibu,” rengekku karena bosan Asih tak kunjung menemukanku. Aku gelisah ingin pergi, tapi tak tahu di mana Asih agar aku bisa bilang kalau aku ingin menyusul ibuku ke ladang.

“Asih ke mana, ya? Mmm, Kakak aja ya nanti yang bilangin ke Asih kalau aku menyusul ibu.” Tak ada jawaban apa pun dari kakak berkuncir dua itu, hanya senyum dari bibir pucatnya saja yang jadi jawaban—hasil kesimpulanku.

Dengan kaos dalam berwarna kuning pudar dan kancut hijau telur bebek aku membawa kaki kecilku melangkah melewati pematang sawah. Lalang yang tajam cukup mengusik meski kakiku sudah beralaskan sandal jepit berbentuk kodok kesayanganku.

Cat-cit-cat-cit, begitu bunyi sandal yang aku injak. Suaranya menyenangkan, tapi itu tak bisa menghentikan air mataku yang berderai. Setelah aku melewati tanjakan setelah area persawahan aku mulai digelayuti kekhawatiran.

Aku cemas dan takut, ini kali pertamaku berkelana sendirian di ladang yang bahkan lebih mirip hutan buatan saking lebatnya. Daun mahoni yang berguguran membuat pijakanku licin dan aku harus merangkak untuk melewati tanjakan.

“Hiks Ibu ….” Air mataku makin menghalangi pandanganku yang sudah buram dan perih, tapi kakiku terus melangkah meniti jalan setapak yang sering digunakan warga saat mencari rumput. Sedikit saja menemui jalan datar, aku harus melewati bibir jurang berbatu yang cukup tajam.

Aku melongok ke dasar jurang. Tak terlalu dalam sebenarnya, hanya lebih tinggi sedikit dari rumah lantai tiga. Takut? Tentu saja, meski tak terlalu tinggi tapi di bawah sana banyak tumbuhan duri juga perdu yang membuatnya terlihat angker, belum lagi ada om-om berbulu lebat sedang duduk-duduk di atas batu tepat di bawah pohon rindang di dasar jurang. Mata merah itu menatapku, seketika tangisku terhenti diganti dengan cegukan.

 

 

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT