CERITA TEENLIT - NISKALA PUSPAS

Adera Nusa 19 Juni 2023 14:40:47 WIB

NISKALA PUSPAS

Bagian 17

Karya: Ei_Shaa

 

Rasa penasarannya terus muncul kala pikirannya merespon beberapa kejadian yang berhubungan antara Rio dengan Ghina. Semenjak dirinya melihat sosok Rio yang sedang tertawa tulus pada sosok perempuan yang ia lihat beberapa hari yang lalu membuat Abimanyu peka terhadap reaksi Ghina. Terlebih lagi sepupu sekaligus temannya itu selalu memberi kabar terbaru. 

Sore hari pun tiba, diantara banyaknya gemerlapan malam dari lampu taman jalanan. Lebih meriah lagi adanya taburan bintang yang ada di langit malam itu. Rasanya ada yang aneh semenjak Rio terus bersama dengan kakak kelasnya semakin mesra. 

Tapi kepulangan kakaknya tidak bisa diabaikan begitu saja. Sudah dua tahun ia tidak berjumpa. Selama itu ia hanya bisa merindu. Abang satu-satunya yang ia punya. 

"Ghina?!" 

"Ya, Bun? Ada apa?" 

"Itu, ini bawakan camilan buat teman-teman Abangmu." Karina terus sibuk mengaduk sup yang hampir masak tanpaeninggalkannya sedikit pun. Sedang tangan yang lebih muda itu diam-diam mengambil sesuatu.

"Hey, jangan mengambilnya, itu punya mereka." 

"Ih, Bunda ngga asik! Ghina juga mau!" Rengek Ghina, sedang sang Bunda hanya mencubit pipi putrinya gemas.

"Nggak, itu makanan khusus yang Bunda buat untuk mereka." Baru saja Ghina hendak mengambil jus, titah sang bunda pun muncul. “Sana kamu anterin ke tempat temen Abang.” 

Ghina memilih untuk menggeleng. biasanya memang sang bunda selalu menyuruhnya mengantar karena Ghina lebih dekat dengan teman sebaya abangnya. tapi kali ini ia hanya ingin menolak untuk bertemu dengan Rio, siapa lagi yang biasa ia hindari mulai hari ini. 

“Ih, bandel sekarang?” 

"Oh, C'mon Ra!" Hanya ada suara dengungan pelan sejak ponsel itu melekat di telinganya. Ghina cukup kecewa dengan perlakuan sahabatnya. Hanya pesan singkat yang dapat dikirimnya. 

“Lo lagi sibuk ya?” 

Ghina terdiam, tidak ada kalimat yang dapat ia kirimkan untuk membalas pertanyaan dari Rio yang tiba-tiba berada di belakangnya. Rasa senang sekaligus terkejut keluar dari pandangan Ghina saat menatap roman Rio yang selalu menang. Netranya sama sekali tidak bisa lepas dari netra yang sejak tadi selalu menguncinya. 

Dengan cepat kepalanya menoleh. Rio memang terlihat sangat tampan, tapi ia tidak bisa terus terjebak dalam suasana aneh yang terus menggerogotinya sejak tadi. Ghina terdiam tanpa adanya kalimat jawaban. sejak tadi pikirannya terus memproses apa yang sedang terjadi dengan memori yang sejak saat itu menampilkan Rio yang sedang bersama dengan Windy, salah satu kakak tingkatnya juga. 

“Kemaren.” Rio menghentikan kalimatnya sesaat setelah Ghina hendak melangkah pergi mendahuluinya. Ia menoleh kembali, menunggu kalimat selanjutnya itu muncul membuatnya merasakan ada yang bergejolak di hatinya untuk segera pergi. 

“Kamu pulang bareng siapa?”

“Rachel.”

Rio menggeleng, “Aku rasa bukan Rachel, dia tampak seperti…” kalimat Rio kembali terputus 

“Kak! aku besok harus latihan rutin. Maaf, Ghina permisi.” kepergian anak itu tidak menjadi sebuah hambatan bagi Rio untuk memastikan pikirannya. 

"Jangan pulang dengan anak motor itu lagi." Ujar Rio menegaskan. Ghina terdiam, tidak mungkin ia menimbulkan masalah pada kehadiran kakanya yang sudah cukup lama absen dari kehidupannya. 

"Aku ingin ketika aku ingin." Simpul Ghina. Langkah kakinya yang hendak meninggalkan Rio sendirian. Tiba-tiba sebuah tangan menahannya cukup kuat. 

"Apa sesuatu terjadi denganmu?"  Pandangan besar penuh harap itu menjadi salah satu tameng untuk menutupi adanya tanda tanya besar yang kali ini sungguh mengganggunya. 

Ghina menyengir, Bundanya yang selalu berkacak pinggang tidak membuatnya terlihat lebih galak tapi tepat di mata Ghina lebih lucu dari yang ia bayangkan. 

"Eh Ghina." Ghina yang merasa namanya di sebut lantas menaikkan alisnya penasaran. Ditambah lagi angin yang menyapa penciumannya beraroma kayu persis seperti yang diciumnya minggu lalu. 

Sedang abangnya yang duduk di sebelah hanya menatap piring yang berisi brownis buatan bunda dan beberapa cemilan ringan. 

"Kenapa hanya ini?" Tanya sang kakak yang merasa ada yang kurang. 

"Tidak, bunda memang hanya menyiapkan ini untuk kakak." 

"Kau bohong ya?" Matanya menciut seolah sedang mengintrogasi sang adik tercinta.

"Apaan sih Bang, kata bunda boleh kok jadi ya gue ambilah." Ujar Ghina tak mau kalah.

"Udahalah, Ren, lu beli sana. Yang enak-enak pokoknya." Tukas sang abang dengan tenabg sembari mengeluarkan uangnya. 

Patuh Rendi lantas melaksanakannya tanpa paksa.. Biasa dalam kumpulan mereka, makanan adalah perantara. Kalimat dan tawa yang menjadi pelengkap geng mereka. 

"Ghin?" Pandangan mata yang kini kembali tak lagi mendapati gadis yang semula beridiri di sampingnya setelah Rendi pergi. "Cepet banget ngilangnya." 

"Ih Rachel, jawab!" Mulutnya terus bergumam mengatakan kalimat-kalimat gerutuan tentang panggilan ponselnya yamg tak kunjung diangkat sanga sahabat.

Langkahnya terus berbolak-balik tak karuhan hanya menunggu balasan dari Rachel. Tidak biasanya anak itu meletakkan ponselnya. Sekarang keadaan makin genting dan dia tidak tersambung dengan teleponnya. 

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT