CERBUNG - INDIGO

Lian 29 Juni 2022 20:11:06 WIB

KEMARAHAN ALAM ITU MENGERIKAN (10)

 

“Adek sepupu gua juga indigo. Dia nggak nyampe usia remaja karena kesehatan fisiknya terganggu oleh tekanan mental yang dia rasakan. Kadang dia berbaring di ranjang selama satu minggu penuh karena pikiran berlebih. Dia orangnya parno, terlebih dia sering diganggu setan dan tak bisa menanganinya.” Jawaban pendaki berbaju kotak-kotak itu seakan melepaskan dahaga Liondra akan rasa ingin tahunya. “Gua yakin adek lo dibimbing yang makhluk yang tak terlihat ‘kan makanya dia tau jalur yang bahkan sepertinya tak pernah dilalui orang ini?”

Semua orang yang ada di sana mendengarkan kalimat itu. Hawa dingin tiba-tiba menyergap mereka. Ketakutan yang tadinya sempat terlupakan karena rasa lelah dan cekcok kini kembali mereka rasakan. Mereka jadi waspada dengan sekitar, siapa yang tahu bila tiba-tiba wajah berlumuran darah dengan daging busuk yang hampir lepas dari tulang pipi akan mengejutkan mereka. Namun, itu hanya bayangan di kepala mereka.

“Ba-bang, ikut … ikuti suara Hala.” Suara Lily menyeret kesadaran mereka secara paksa kembali ke kenyataan. Gadis yang masih memejamkan mata dengan gelisah itu mengigau. Wajahnya yang kini telah bersih dari darah tidak membuatnya tampak lebih baik.

“Hala? Gua nggak dengar suaranya Hala.” Liondra bingung, dia celingak-celinguk mencoba mencari si burung jalak meski pandangannya terhalang oleh gelapnya malam.

“Siapa Hala?” Pendaki berbaju kotak-kotak berpikir Hala adalah nama makhluk astral yang mungkin menunjukkan arah pada Lily.

“Burung jalak yang beberapa hari lalu diselamatkan Lily. Dia dikasih nama Hala.” Jawaban Liondra cukup mengejutkan pendaki berbaju kotak-kotak.

“Lo yakin itu burung biasa?” Bukan tanpa alasan pendaki itu bertanya demikian. Burung jalak di Lawu dikeramatkan, dan biasanya mereka akan menghindari kontak dengan manusia.

“Gua sendiri juga curiga dia burung jadi-jadian.” Liondra tak menutupi rasa yang sejak awal ia miliki terhadap Hala. “Abaikan itu untuk sementara. Bantu gua cari arah di mana suara jalak berasal, gua yakin itu jalan yang harus kita tuju. Nggak cuma sekali dua kali adek gua kek gini, dan kebanyakan apa yang dia bilang udah macem wangsit.”

Kata-kata Liondra menggerakkan orang-orang. Bukan karena kemampuan memimpinnya namun karena mereka tak punya pilihan lain. Tak ada salahnya mereka mencoba.

Menajamkan pendengaran. Kegelapan dan sunyinya malam membantu mereka berkonsentrasi mencari suara kicau burung. Meski tak lazim jalak bersuara di jam itu namun samar suaranya terdengar dari kejauhan.

“Woi, samar suaranya terdengar. Sebaiknya secepatnya kita ikuti sebelum burung itu semakin jauh.” Pendaki berbaju kotak-kotak segera berdiri dari jongkoknya. “Lo bisa gendong adek lo. Sebaiknya lo yang memimpin perjalanan ini karena lo yang paling tau maksud adek lo, biar gua yang sapu ranjau.” Katanya sebelum melangkah pergi ke posisinya.

Mengesampingkan rasa was-was, para pendaki itu mulai mengikuti Liondra yang berjalan paling depan. Tali terikat di pinggangnya, sedangkan Lily ia gendong di punggungnya. Intuisinya mengatakan sebentar lagi subuh karena kabut sudah mulai turun. Mereka terus berjalan, mengabaikan letih yang menumpuk, mengikuti suara jalak yang perlahan mulai terdengar lebih dekat.

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT