CERBUNG - INDIGO

Lian 29 Juni 2022 20:09:48 WIB

KEMARAHAN ALAM ITU MENGERIKAN (1)

 

Aku telah mengawasi bagaimana dunia berjalan. Tentang alam, bahkan sampai keserakahan manusia yang semakin menjadi.

Manusia diciptakan pada hari keenam. Tuhan menghendaki manusia merawat ciptaan-Nya yang lain agar kelangsungan mereka tetap terpelihara. Namun nyatanya, manusia dibutakan oleh ketamakan mereka.

Peninggalan purbakala itu hampir terlupakan. Kehidupanku direnggut perlahan oleh keserakahan manusia. Perhiasanku digali demi uang. Kesejukan dan napasku ditebang demi kebutuhan. Aku sesak karena limbah yang mencemari tubuhku.

Aku adalah bumi yang menjadi pijakan mereka. Jangankan berterima kasih padaku yang menjadi perantara sehingga mereka dapat terus bertahan hidup, mereka malah merusakku. Bolehkah aku marah pada mereka yang bahkan mencemari air yang mengalir di tubuhku?

Dari hari ke hari aku membuat penilaian.

Di antara kebijaksanaan yang semakin menipis itu ada makhluk yang cukup aneh. Di atas gunung begini, ragam emosi yang kaya tertampung dalam wadah yang kecil. Keberadaan yang tak pernah aku harapkan dari seorang manusia yang egois.

“Lily, ngapain lo buang-buang energi buat nyembuhin burung kecil macem itu? Bentar lagi dia juga bakal mati.” Seorang pemuda meletakkan ransel di punggungnya dan bersiap mendirikan tenda. Memang mereka belum mencapai puncak Gunung Lawu namun swastamita telah melukis langit senja.

“Kasian, Bang. Biar bagaimanapun dia juga nyawa, dia punya hak yang sama untuk tetap hidup.” Gadis bernama Lily bersandar di batang pohon yang berdiri kokoh dengan tubuh dan kanopi megah. Dalam tangkupan kedua tangannya terkapar burung jalak yang sayap kirinya patah, seperti diserang hewan buas. Darah menodai bulunya yang kusam.

Terasa gelombang hangat terpancar dari telapak tangan Lily, mengalir dan meresap pada tubuh jalak yang malang itu. Mata hitam si jalak kecil menatap gadis penyelamatnya menembus kesakitan yang meremukkan tubuhnya. Aku tahu pasti, rasa terima kasih yang tak terucap oleh si jalak yang ditujukan pada Lily.

“Aku tak yakin dia bisa selamat, tapi setidaknya aku ingin berusaha membantunya.” Suara sengau Lily teredam karena bibirnya yang terkatup rapat. Peluh menetes, meluncur dari pelipis hingga ke lehernya. Raut sedih dan bersalah yang entah mengapa membuatku tergerak untuk memberikan lebih pada anak itu. Iba yang sudah lama menjadi kerak dalam intiku seperti dipaksa naik ke permukaan.

“Jangan paksakan diri lo. Benar kita harus berusaha, tapi kita juga tak dapat menentang kehendak-Nya.” Pemuda yang bersama Lily mengusap kepala gadis itu. Memang benar apa katanya, tak ada yang bisa menentang bila Sang Pencipta telah menghendaki.

“Bang Leo, aku tau. Sangat tau. Hanya saja rasa bersalah selalu menggerogoti bila aku menutup mata.” Mata Lily menjadi redup. Kepalanya tertunduk sedih menatap burung kecil di tangannya.

“Cukup Ly, energi alam memang bisa kita gunakan untuk menyembuhkan, tapi bukan berarti kita bisa menggunakannya dengan sembarangan. Secukupnya, cukup untuk burung itu bertahan hidup. Lo bisa demam kalo maksa luka burung itu langsung sembuh.” Pemuda bernama Liondra atau yang lebih sering dipanggil Leo itu mengingatkan Lily yang dibanjiri peluh, sangat tampak gadis itu memaksakan diri karena aliran energi dalam tubuhnya mulai tak stabil.

“Aku tau, Bang. Sangat tau.” Lily berlinang. Ia melihat dirinya dalam sosok burung kecil yang hampir kehilangan sayapnya, Lily pernah hampir kehilangan kemampuan bertahan hidup karena rundungan orang. “Maaf, maaf karena prana-ku tak cukup untuk menyembuhkanmu.” Gadis itu menatap si jalak dengan mata berkaca-kaca, menyesal karena terbatasnya kemampuannya.

 

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT