CERBUNG - INDIGO

Lian 30 Maret 2022 12:07:17 WIB

CINTA, SAKIT DAN KEMARAHAN (3)

 

“Jangan mengada-ada, lo bahkan nggak kenal dia.” Dony bagai disergap, ia gelagapan hanya untuk mengucapkan satu kalimat sangkalan. Dony bahkan tak berani menatap Lily, ia mengalihkan pandangannya ke mana saja asal tak beradu dengan gadis di depannya.

“Saat itu ibumu tertabrak truk, lebih tepatnya berlari ke tengah jalan meski tau ada truk yang melaju kencang. Tubuhnya bersimbah darah, terkapar penuh luka, abai meski tersedak darah yang menyumbat saluran pernapasannya hingga kehabisan udara.” Lily masih menatap Dony, berdiri teguh menyaksikkan pemuda itu bergerak dengan gelisah menyembunyikan wajah pucat dan keringat dingin yang membasahinya. Sesekali Dony menggigit kepalan tangan kanannya lalu menarik napas namun ketenangan tak kunjung menghampirinya.

“Lo … ngomong apa lo barusan? Dia udah lama mati, gua nggak ada hubungannya!” Dony menyunggar rambutnya dengan kasar, tampak sekali ia frustrasi dengan ingatan masa kecil yang sampai sekarang menjadi rantai pengikatnya. Dony kembali teringat ucapan orang-orang di sekitarnya, mengatakan bahwa ibunya sengaja menabrakkan diri dengan truk yang melintas di jalanan saat itu untuk mengakhiri hidup.

“Kematian adalah hal yang tak terelakkan, tapi itu bukan solusi untuk lepas dari masalah.” Kata-kata ambigu yang diucapkan Lily tepat menancap pada benak Dony yang emosinya sudah tak stabil. Entah mengapa matanya merah tergenang air mata. Tiba-tiba ia berjongkok sambil mengacak rambutnya, ia terlihat sangat kacau.

“Lo nggak tau apa-apa. Lo nggak ngerti apa pun. Jangan ngarang cerita yang nggak ada.” Dony bagai mesin rusak, kehilangan ketenangannya. Ingatannya tentang masa kecil setelah ditinggalkan sang ibu terus berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Penilaian kejam orang di sekitarnya yang mengatakan ibunya adalah orang bodoh berpikiran sempit, depresi, melarikan diri dari kehidupan. Tanpa mereka tahu kebenaran sesungguhnya, kalimat yang mereka lontarkan mencekik kehidupan psikologis Dony kecil.

“Aku memang tak tau apa-apa, aku hanya diberi tau.” Lily tak menatap Dony, lawan bicaranya. Ia menatap ruang hampa di belakang Dony yang berjongkok, seakan di sana ada intensitas yang sejajar dengan tinggi Lily. “Ibumu ….”

“Lo gila ya? Udah gua bilang dia udah mati … dan gua nggak peduli dengan orang bodoh macam dia!” Dony masih berjongkok, tatapannya sarat akan luapan amarah mendongak ke atas untuk menemukan gadis itu yang bahkan tak menatapnya. Dony mengikuti arah tatapan Lily, menoleh kebelakangnya namun tak ada apa pun, hanya ruang kosong. “Lo … lo aneh. Lihat apaan lo?” Dony tiba-tiba merinding, tanpa sadar ia makin meringkuk dalam posisi jongkoknya.

Lily tak peduli, gadis itu tak bersimpati. Ia bahkan tak kenal dekat dengan Dony, hanya sekedar tahu bahwa pemuda itu digandrungi hampir seluruh siswi satu angkatan mereka karena ketampanan dan lidahnya yang fasih melontarkan kata-kata manis.

“Nggak ada. Aku kasih tau pun kamu nggak akan percaya.” Jawaban singkat terdengar aneh di telinga Dony yang mendengarkannya. Apa sebenarnya maksud ucapan gadis itu?

“Jahat banget lo. Gua tau lo nggak mau jadi cewek gua, tapi nggak usah nekan gua pake ngungkit-ungkit masa lalu gua yang bahkan nggak mau gua ingat lagi.” Dony mendongak, menatap Lily dengan sorot mata yang rumit, kedua tangannya tadinya menjambak rambut dengan kuat kini merenggang. Mata merahnya adalah lukisan tersendiri.

“Aku nggak maksud gitu, Don. Aku hanya ….” Lily mencoba menjelaskan namun lagi-lagi kalimatnya dipotong Dony dengan agresif. Gadis itu bergeming, mendengar apa yang dikatakan Dony berikutnya.

 

Bersambung

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT