CERITA HOROR
Lian 27 September 2021 10:51:42 WIB
TOLONG AKU
Saat itu waktu menunjukkan hampir subuh, dentum keras terdengar dari jalan depan rumah Neneng. Langit masih gelap dan udara dingin menusuk kulit. Neneng yang terbiasa bangung di jam-jam itu untuk salat subuh langsung berlari ke depan rumah, menuju sumber suara.
"Kang … bangun, Kang! Ada ribut-ribut di depan rumah." Neneng berlari sambil berteriak membangunkan suaminya yang masih bergelung dalam sarung.
"Ada apa sih, Neng? Ini masih pagi buta." Herman sang suami terpaksa bangun dari posisi tidurnya karena tidak mendapat respons dari istrinya.
Herman terhuyung, berusaha mencapai pintu depan. Mulut menguap lebar karena ia masih mengantuk, bagaimana tidak kalau dia baru tidur jam tiga dini hari setelah ronda keliling kampung?
Mata Herman terbuka lebar setelah mendapati kerumunan orang yang berkumpul di simpang empat samping rumahnya. Ia berlari sambil mengangkat sarung yang dipakainya.
"Minggir. Permisi, tolong minggir." Herman menerobos pagar manusia yang mengerumuni sesuatu. Ia panik setelah melihat motor yang amat ia kenal ringsek menabrak tugu yang ada di tengah persimpangan. Cahaya remang dari lampu penerangan jalan terasa mencekam saat suara tangis pilu datang dari tengah kerumunan orang.
"Astaghfirullah, apa yang sedang terjadi, Gusti?" Herman menggigil, ia melihat istrinya bersimpuh di atas aspal dan menangisi sosok yang terlentang bersimbah darah.
"Rama, Kang. Rama …." Neneng masih menangis kencang saat merangkak, menunjukan putra semata wayangnya dalam keadaan mengenaskan, darah mengalir dari hidung dan mulutnya, bercak darah merembes dari bawah tubuhnya yang terbaring di aspal, tubuhnya remuk karena terpental beberapa meter dan jantung pemuda 17 tahun itu sudah tak berdetak lagi. Rama meninggal seketika setelah motor yang ia kendarai menabrak tugu.
Rama diduga mengalami kecelakaan karena mengemudi dalam kondisi mabuk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemuda ini sering kumpul dengan teman-temannya dari kampung sebelah untuk minum-minum. Sudah berulang kali Herman dan Neneng menasihati, berceramah, bahkan sempat mereka memukul Rama karena hal itu. Tapi Rama tak mau mendengar ocehan kedua orang tuanya hingga hari nahas ini terjadi.
Hari berganti hari, Neneng dan Herman belajar mengikhlaskan kepergian anak mereka, tapi tidak dengan orang-orang di sekitarnya. Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Rama, warga yang melewati jalan depan rumah Neneng sering kali melihat sosok Rama yang berdiri di dekat tugu.
"Tolong … tolong saya." Sosok Rama yang berlumuran darah menampakkan diri pada tiap orang yang lewat saat menjelang tengah malam, tangannya menggapai-gapai berharap ada yang menyambutnya.
Kejadian itu sampai ke telinga Herman dan Neneng, membuat hati mereka tersayat.
"Kang, kenapa anak kita jadi seperti ini?" Neneng menangis saat ia dan Herman duduk di ruang tamu membahas perihal Rama.
"Akang juga tidak tau, Neng. Sepertinya Rama masih belum bisa tenang, sampai-sampai dia belum bisa ke alam sana." Herman mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Jujur dia sendiri belum pernah mengalami didatangi hantunya Rama, tapi desas-desus para tetangganya santer sampai ke telinganya.
"Bu Heni menyarankan kalo kita harus mengadakan pengajian, mendoakan agar arwah Rama tenang." Neneng masih sesenggukan. Perlahan ia mengusap air mata yang masih meleleh dari ujung matanya.
"Itu bukan ide yang buruk. Kita bisa memohonkan pengampunan-Nya atas dosa-dosa Rama selama ini, Neng."
Benar saja, Neneng dan suaminya mengundang para tetangga dan mengadakan pengajian untuk mendoakan Rama yang masih belum tenang. Doa-doa dilantunkan dengan indah, ketulusan dan harapan agar Rama diampuni menjadi harapan mereka yang tiap malam ketakutan pada sosok itu.
Suasana khusyuk mereka saat merapalkan doa diinterupsi oleh ketukan pada pintu depan rumah Neneng, serentak mereka berhenti lalu menoleh ke sumber suara. Orang-orang terperanjat melihat sosok mengerikan yang menjadi teror tiap malam, Rama berdiri dengan kondisi mengerikan berbalur darah merah menjijikkan.
"Maaf … maafkan Rama. Tak bisa pergi. Tak ada tempat yang menerima. Ampun …." Suara Rama terdengar seperti mesin dengan intonasi datar namun membuat bergidik. Rama menangis, tapi yang mengalir dari sudut matanya adalah darah.
Neneng, ibunya menangis dengan membekap mulut saat melihat sang anak. Herman memegangi tubuh istrinya yang limbung, menjaga agar tak jatuh ke lantai.
Orang-orang yang sadar lebih cepat dari ketakutannya langsung merapalkan doa agar Rama bisa diterima di sisi-Nya. Mereka membawa harapan besar agar arwah Rama dapat diterima di alam sana dan mendapat pengadilan yang sesuai dengan amal baik-buruknya.
Perlahan sosok Rama memudar, menghilang dari hadapan orang-orang yang masih digelayuti resah.
Sejak saat itu kedua orang tua Rama secara rutin mengadakan pengajian untuk mendoakan Rama. Berkat itu tak ada lagi sosok Rama yang menghantui dan meminta pertolongan karena arwah bisa masuk ke alam lain.
Tamat
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Pengunjung |
- PEMBUKAAN PERKEMAHAN AKHIR INKUBASI SAKA WIRAUSAHA DI BALAI BUDAYA PUTAT
- Pertemuan Desa Prima Edisi November di Kopi Putat
- PELANTIKAN KPPS KALURAHAN PUTAT
- PELATIHAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER UNTUK KADER POSYANDU
- APEL PAGI PAMONG KALURAHAN PUTAT
- Kunjungan Study Tiru Desa Prima Sendangsari ke Desa Prima Gumregah
- PEMERINTAH KALURAHAN PUTAT KOORDINASI PROGRAM KETAHANAN PANGAN DENGAN PENGGARAP LAHAN