CERPEN - TAK BERHENTI SAMPAI DI SITU

Lian 25 Februari 2020 09:34:41 WIB

TAK BERHENTI SAMPAI DI SITU

Karya : Lian Kristiana

 

Beberapa tahun silam merupakan pengalaman tak terlupaan bagi Jogja. Gempa pada 27 Mei 2006 yang menewaskan 6.234 jiwa, aku disana sebagai saksi sakit dan hancurnya Jogja yang diporak porandakan. Takdir seperti mempermainkan setiap jiwa yang saat itu tinggal di Jogja.

“LARI! CEPAT LARI!!”

“TSUNAMI! TSUNAMI!!!”

Suara kepanikan pengungsi-pengungsi kala mendengar kabar tsunami akan menerpa Jogja. Seakan kesempatan tak membiarkan mereka melalui waktu berkabung bagi sanak saudara mereka yang telah tiada direnggut sang gempa, kepanikan kembali memaksa mereka untuk bekerja lebih keras menyelamatkan nyawa masing-masing.

“Mas Andi, piye iki? Nasip kita sama anak-anak gimana?” tanyaku pada suamiku.

“Kita harus ke dataran yang lebih tinggi, Nis. Panggil anak-anak, kita segera berangkat!”

“Iya, Mas. Kita mau kemana? Dimana-mana sudah tidak aman saat ini,”

“Kita akan ke Gunungkidul, disana lebih tinggi dari Bantul. Kamu ingat, kita punya kerabat disana, Nis. Bergegaslah, kita segera berangkat.”

“Apa tidak apa kita kesana, Mas? Kondisi disana tak jauh beda dengan Bantul,” kataku pada Mas Andi yang sedang menyiapkan mobil untuk perjalanan kami.

“Setidaknya kita dapat terhindar dari tsunami,” jawabnya dengan lesu, sebenarnaya ia ragu dengan keputusannya.

Aku bersama keluargaku bergegas menuju Gunungkidul untuk mengungsi. Aku sama sekali tak memikirkan apa yang akan kami temui disana. Sepanjang jalan yang kami lalui aku melihat suasana yang amat memperihatinkan, jalanan macet karena kendaraan pribadi yang sama-sama ingin mengungsi maupun truk pengangkut logistik untuk dapur umum tempat pengungsian. Puing-puing bangunan yang masih teronggok karena terlempar kebadan jalan ikut menghambat laju mobil yang membawa kami. Sunyi menguasai kami saat mobil kami melewati reruntuhan sebuah pasar tradisional yang merenggut ribuan nyawa saat gempa besar beberapa hari lalu terjadi.

“Hati-hati, Mas. Pelan-pelan saja bawa mobilnya,” kataku lirih pada suamiku. Aku menahan gemuruh di dadaku, terasa sesak kala lelihat puing-puing berserakan. Aku mengamati tim penyelamat yang masih terus berusaha mencari korban diantara reruntuhan. Air bening terjun bebas melewati pipiku, rasa iba bercampur syukur aku rasakan. Iba karena begitu banyak nyawa yang terenggut dan memaksa anak-anak menjadi yatim piyatu. Namun dari itu semua aku masih dapat bersyukur karena diantara ribuan tubuh yang kehilangan nyawa, keluarga kecilku ini masih diberi kesempatan untuk tetap utuh.

“Nis, pegangan yang kuat. Mas merasakan mobil kita berguncang. Sepertinya ada gempa lagi,” ucap Mas Andi penuh kepanikan.

“Iya, Mas. Goncangannya semakin kuat. Gimana ini Mas, kita ada dipinggir tebing. Aku takut tanahnya longsor,” kataku tak kalah panik. Jujur saja kami bagai berjalan diatas benang tipis. Bagaimana tidak, posisi kami saat ini masih terjebak macet di jalan pinggiran tebing dengan gempa susulan yang cukup kuat. Tanah basah di tebing itu kian merosot membuatku semaki panik, “Tuhan, berikan kami kesempatan untuk bertahan dari bencana ini!” doaku dalam hati, ketakutanku tak dapat lagi dibendung. Aku menoleh pada kedua buah hatiku yang duduk di jok belakang nampak pucat, tangisan mereka begitu menyayat hati.

Gempa yang semakin kencang menyebabkan tanah semakin berlomba meluncur ke bawah tebing. Aku kehabisan napas karena terus menangis sambil menjerit ketakutan, yang aku ingat terakhir hanya gelap yang menguasaiku.

Ya, itu kisahku 13 tahun yang lalu. Kejadian buruk yang keluargaku alami. Aku mengira saat itu aku dan keluargaku akan kekehilangan nyawa karena peristiwa itu tapi Tuhan ternyata masih bermurah hati dengan membiarkan kami menata hidup kami hingga saat ini. Tempat kejadian longsor saat itu kini menjadi tempat wisata yang cukup terkenal karena pemandangganya yang indah saat malam hari tiba. Tempat itu kini lebih dikenal dengan Bukit Bintang karena dari sana dapat melihat separuh dari wilayah Jogja.

Keindahan memang menyambut kami saat ini namun kenangan saat itu amat menyakitkan bagi Jogja yang harus kehilangan 6.234 jiwa penduduknya. Peristiwa saat itu masih sangat membekas diingatanku.

 

Selesai

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT