CERBUNG - STAY WITH YOU

Lian 14 Januari 2020 11:38:13 WIB

16. Ketahuan

 

Pembacaan puisi tersebut diakhiri dengan tepuk tangan dari para penonton sebagai wujud apresiasi untuk pembaca sekaligus pengarang puisi itu.

Malam semakin larut, acara pensi ini terus berlanjut. Aku mulai lelah dan mengangtuk. Pengurus OSIS stand by di belakang panggung sambil duduk-duduk. Kami ngobrol seputar perlombaan dan pensi malam ini, tiba-tiba saja dadaku terasa seperti ditikam. Napasku tersengal-sengal seperti ditenggelamkan ke dalam air. Keringat dingin mulai mengucur dari kulitku yang semakin pucat. Pandanganku semakin kabur. Aku mendengar orang-orang yang memanggil namaku dengan paniknya.

Aku mencoba untuk mempertahankan kesadaranku. Dengan susah payah aku mengatur napas dan menenangkan pikiranku. Perlahan-lahan rasa sakitku mulai menghilang dan napasku yang tadinya tersengal-sengal berangsur stabil, walaupun tubuhku masih terasa lunglai.

“Din, kamu tadi kenapa?” teriakan Navy mengagetkanku dan membuat jantungku bekerja semakin ekstra karena darahku terasa mengalir lebih deras di dalam pembuluh darahku yang sekarang sudah tak berfungsi sebagus dulu.

“Nav, bantuin aku ke UKS. Aku pengen rebahan. Badanku lemas nih.” Pintaku pada Navy sambil nyengir untuk menutupi rasa sakitku.

“Ya udah, pelan-pelan aja jalannya,” Navy dengan hati-hati menopang berat badanku agar aku bisa berjalan meski tubuhku terasa lemas.

“Makasih Nav,” ucapku padanya sambil bersusah payah melangkahkan kakiku yang terasa semakin lemas ini.

Langkah perlahan ini akhirnya mencapai garis finis. Kami sampai di depan pintu UKS yang masih terkunci rapat dan gelap gulita.

“Bentar Din, aku pinjam kunci UKS dari perawat sekolah dulu. Kamu tunggu di sini ya,” dia membantuku duduk di bangku taman depan UKS lalu bergegas mencari perawat sekolah.

Udara malam yang semakin dingin membuatku jadi menggigil menambah rasa tak nyaman dalam hatiku. Rasa sakit, takut, mulai mengerogotiku, aku masih tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya pada Navy, tentang kondisi jantungku yang semakin melemah ini.

Saat aku mulai menyusun kata yang ingin aku sampaikan pada Navy, tiba-tiba langkah kaki yang begitu gencar berpijak pada lamtai keramik koridor menuju UKS pun terdengar semakin mendekat. Aku mendengar suara perawat yang terdengar begitu panik dan terus bertanya tentang kondisiku pada Navy.

“Hosh hosh hosh.” Terdengar dalam gelapnya malam, suara napas mereka yang terengah-engah karena berlari sepanjang perjalanan menuju UKS.

“Saya baik-baik saja kok Bu, ini tak separah biasanya,” kataku sambil berusaha membuatnya terdengar riang.

“Tunggu dulu! Tak separah biasanya? Berarti ini bukan kali pertama kamu dalam kondisi seperti ini? Jadi ini ada hubungannya sama kejadian kamu pinsang dulu itu?” Navy mengerahkan semua tenangganya untuk menyerangku dengan perkatanyaannya itu. “Sebenarnya kamu tuh kenapa Din? Tolong jawab dengan jujur?” Dia bertanya dengan penuh curiga namun begitu memelas, mengharapkan jawaban untuk semua pertanyaan yang ia lontarkan padaku tadi.

“Navita, tahan dulu semua pertanyaanmu. Ayo bantu Dinta masuk Ruang UKS dulu.” Perawat meminta bantuan Navy untuk memapahku ke ranjang UKS yang mulai diterangi cahaya lampu sesaat setelah perawat menekan saklar yang ada di sebelah pintu masuk ruangan tersebut.

Dengan enggan aku mulai menceritakan mengenai kondisiku, tentang penyakitku, bahwa hidupku tak akan lama lagi. Aku menceritakan semuanya. Jujur, aku takut dengan respon yang akan Navy perlihatkan setelah aku menceritakan semuanya. Aku tak sanggup menatap matanya, hanya menundukkan kepala yang bisa kulakukan.

Dadaku terasa sesak, tanpa aku sadari pipiku telah basah oleh ari mata. Aku menangis karena rasa takut akan reaksi yang akan ditunjukan Navy. Aku takut dia marah padaku karena menyembunyikan penyakitku selama ini.

“Kenapa menangis?” Sentuhan lembut Navy membuatku terbangun dari rasa cemas yang aku rasakan. Dia memelukku erat. Hangat. Perasaan ini begitu nostalgia. Navy selalu menenangkanku dengan memelukku saat aku mulai menangis. “Sudah, jangan menangis lagi.”

“Aku takut Nav, takut kamu marah karena menyembunyikan kondisiku ini,” ungkapku sambil menangis dipelukannya.

“Yah, jujur saja aku marah Din. Tak biasanya kamu menyembunyikan sesuatu dariku seperti sekarang ini. Apalagi masalah mengenai hidup dan mati,” kata Navy yang diakhiri dengan menghela napas.

“Maaf Nav, aku takut bilang sama kamu. Aku takut mengakui kenyataan bahwa penyakit ini mulai menggeogotiku.”

“Apa tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakitmu ini”

“Ada, tapi itu sangat beresiko. Tergantung dengan kondisi fisik dan mentalku,” jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir deras di pipiku.

“Jalan satu-satunya hanyalah operasi,” sahut perawat yang ada satu ruangan bersama kami.

 

Bersambung....

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT