CERBUNG - STAY WITH YOU

Lian 21 Juni 2019 11:09:27 WIB

4. Dag Dig Dug

 

Lagi-lagi aku hanya bisa memandangi Ditya dari depan kelasku. Hari ini dia bertingkah konyol dengan leluconnya saat bersama teman-temannya. Sesaat dia memergoki aku memandanginya, sekejap saja pandangan kami saling bertemu dan dia tersenyum padaku.

“Ahk,” desahku. Tubuhku terasa panas dan wajahku mulai memerah, rasanya seperti meleleh. “Aku malu banget” ucapku dalam hati. Langsung saja aku memalingkan muka dan bersikap acuh seperti biasa. Bukan karena aku tidak suka padanya, tapi untuk menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Sebenarnya aku sangat senang karena senyuman Ditya yang khas itu ditujukan untukku.

“Ah Dinta, bentar ya guys, aku mau  menyapa Tuan Putriku dulu” katanya kepada teman-temannya.

 “Waduh gawat, Ditya ke sini. Aku harus cepetan pergi nih. Aku gak boleh terus-terusan mikirin dia. Nanti konsenku bisa berantakan,” gumamku sambil melangkah menjauh dari tempat itu. Tapi rupanya aku sudah terlambat untuk menghindar. Ditya menggenggam tanganku dan menarikku agar aku berbalik menghadap kepadanya. Jantungku berdegup kecang, hingga serasa tak sanggup berdiri dengan kedua kakiku lagi. Aku gugup dengan keadaan seperti ini. Pikiranku kacau. Suaraku terkunci. Yang ada hanya kepanikan dan tiba-tiba. . . .

“Ting tong ting tong” bel tanda kelas dimulai telah berbunyi.

Leganya. Aku selamat karena kelas sudah dimulai. Aku bergegas melangkahkan kakiku untuk menuju kelasku. Tiba-tiba saja ada yang menariku dan terdengar bisikan halus di telingaku, “Sampai jumpa saat pulang sekolah nanti Dinta,” suara Ditya yang hearse itu membuatku merinding dan selalu terngian-ngiang di telingaku.

* * *

Jam pelajaran hari ini terasa begitu cepat. “Kenapa disaat seperti ini waktu cepat banget berlalu? bagaimana jika Ditya beneran menungguku?”

Dengan rasa enggan aku melangkahkan kakiku menyusuri koridor. Di papan pengumuman aku melihat ada pengumunan pendaftaran pengurus OSIS yang diselenggarakan di ruang OSIS. Aku tertarik  dengan  hal itu, “Yah untuk menambah wawasanku dalam berorganisasi dan sekalian bisa mengisi waktuku,” pikirku. Aku pun melangkah menuju ruang OSIS dan menuliskan namaku sebagai calon pengurus OSIS “Siapa tahu aku bisa gak ketemu Ditya di sini, hihihi,” gumamku.

Aku mengamati ruangan itu dan aku dapati hal yang mengejutkan. Ternyata Ditya sudah ada disana. Aku kaget dan bertanya-tanya, kenapa selalu ada dia dimanapun aku melangkah.

“K-kenapa kamu ada di sini, Dit?” Tanyaku dalam kegugupanku.

“Hahahaha aku diminta Pak Fadli (Guru Matematika) sebagai wakil kelas untuk jadi pengurus OSIS. Kita memang jodoh ya, kemana-mana selalu ketemu.”

“Apa boleh buat kalau seperti ini jadinya,” gumamku lesu. Aku terlanjur berminat jadi pengurus OSIS tahun ini. Apalagi yang bisa kuperbuat. Mungkin akan terjadi hal yang menyenangkan diantara kami berdua. Mungkin.

“Aih. . . Senangnya bisa sama-sama kamu terus.” Kudengar suara Ditya yang begitu kukenal dengan cara bicaranya yang sumringah itu. Lama-lama jika kudengar suaranya terasa ada sesuatu yang melonjak kegirangan dari dalam diriku.

“Apa ini? Perasaan yang asing bagiku. Kenapa hanya dengan mendengar suaranya aja aku merasa senang?” Aku mulai bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya aku pengen menjauh darinya, tapi keadaan dan situsi yang ada malah selalu membuat kami selalu bersama-sama. Apa ini takdir? Aku tak tahu.

“Mmm, aku antar kamu pulang sekarang ya? Pakai motor,” Ditya menawarkan niatnya, tapi segala kemungkinan terpikir olehku dan pikiranku mulai jungkir balik.

“Apa kata ayah kalau tahu aku dianterin cowok? Pasti ayah bakal tanya-tanya. Terlebih lagi aku bakal diceramahi seperti biasanya, seperti : jangan macam-macam dulu, selesaikan sekolahmu atau jangan sampai seperti ayah yang jadi buruk semasa SMA karena patah hati. Aku gak mau.” Aku cukup mengerti apa yang ayah inginkan. Agar aku tidak merasakan sakit hati lalu kecewa.

“Ayo kita pulang,” suara Ditya begitu mengejutkanku.

“Ah gak usah. Aku bisa pulang sendiri. Gak usah diantar,” jawabku berusaha menolaknya dengan sopan, tapi sepertinya itu terdengar terlalu ketus untuk menolak niat baiknya. “aduh maaf. Bukan gitu maksudku,” gumamku dalam hati.

“Aku ngerti. Ya udah, kamu hati-hati di jalan ya. Sampai jumpa besok,” katanya sambil tersenyum.

“Bagus. Apa lagi yang kau buat Ditnta? Kamu nyakitin dia lagi. Dasar bodoh,” sesalku dalam hati. Kenapa aku tak bisa bersikap lebih lembut padanya. Dengan terus memikirkan penyesalanku itu aku mulai melangkahkan kakiku menyusuri jalan menuju rumahku.

 

Bersambung....

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT