CERBUNG - STAY WITH YOU

Lian 22 Mei 2019 10:08:24 WIB

2. Namanya ‘Ditya’

 

Waktu satu minggu pun berlalu sangat cepat. Tanpa terasa Ospek terlewatkan begitu saja. “Untungnya aku bisa selamat dari pengurus OSIS,” kataku dalam hati.

Prosesi belajar-mengajar akhirnya dimulai. Satu per satu, kami mulai mengenal guru yang mengajar di SMA ini. Masing-masing dari mereka mengajarkan berbagai mata pelajaran yang berbeda, cara mengajar mereka juga tak sama antara guru yang satu dengan yang lain. Ada yang cukup baik dalam mengajar, sehingga kami lebih mudah memahami mata pelajaran yang ia ajarkan. Tapi ada juga yang membosankan saat mengajar, suara guru tersebut begitu lirih hingga aku yang duduk di bangku paling belakang tak dapat mendengar suaranya. Hal itu bisa merepotkanku, karena aku jadi tak bisa memahami pelajaran yang ia ajarkan.

Beberapa hari ini aku gunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Aku memcoba berkenalan dengan teman-teman satu kelasku, dan ternyata mereka cukup bersahabat.

Aku mulai bisa membaur dengan teman-teman satu kelas dan kami mulai akrab. Kami bertukar berbagai informasi seperti alamat tempat tinggal, asal SMP, bahkan kami sampai bertukar cerita mengenai pengalaman pribadi.

Waktu terasa sangat menyenangkan dengan suasana yang bersahabat, dan aku bisa mengenal wajah-wajah baru. Setidaknya itulah yang aku rasakan, hingga tiba saat pelajaran Matematika.

Waktu terasa seperti tak berputar. Jarum dari jam berwarna putih yang tertempel di dinding bagian depan kelas, tepatnya di atas papan tulis itu nyaris tak berputar.

“Membosankan,” itu yang terlintas di pikiranku saat tengah jam pelajaran Matematika siang itu, yang jujur saja membuatku mengantuk. Dengan pengajar yang membosankan dan bergulat dengan rumus dan angka di hadapanku. Aku mulai melamun dalam kebosananku dan mengingat lagi kejadian beberapa hari yang lalu.

Saat itu pulang sekolah, aku berjumpa dengan cowok hitam manis, anak Kelas C. Saat itu aku baru beradaptasi dengan lingkungan baru, dengan teman baru dan suasana yang sama sekali berbeda dengan sekolahku yang dulu. Lebih dewasa.

Aku terkejut karena tiba-tiba dia berjalan di sampingku, kami melangkah beriringan mininggalkan area Kelas X. “Hai Ardinta Putri Maulia, anak Kelas B yang masuk SMA Wijaya dengan peringkat 46,” katanya sambil tertawa, entah apa yang dia tertawakan.

“Apa? Ya ya ya peringkat yang gak membanggakan. Aku tau itu. Tapi gak perlu diperjelas juga kali. Lagi pula bukan kebiasaanku ngomong sama orang yang tak aku kenal.”

“Hahahahaha, bukan begitu maksudku,” jawabnya dengan nada menyesal. “Raditya. Raditya Rafando Putra. Itu namaku.”

“Ooh,” tanggapanku singkat.

 “Aah. Cuma gitu doang ekpresimu? Singkat banget,” keluhnya karena kecewa dengan responku.

“Lalu kamu pingin ekspresi yang seperti apa? Gak ada bedanya juga buatku,” aku mulai sewot karena risih dengan keadaan canggung saat itu.

“Aku pengen kenalan sama kamu, karena aku suka sama kamu.” Tak tahu kenapa, wajahnya yang manis itu mulai memerah dan membuatku tegang karena suasana ini.

Yah memang dia bukan orang pertama yang menyatakan perasaan sukanya sama aku, tapi jangan di hari pertama kenalan juga dong. Rasa heran mulai kurasakan dan aku yakin kalau ini mungkin kesalah pahaman.

“Tunggu. Tunggu dulu. Aku gak lagi ngigau, kan? Kita gak pernah kenal sebelumnya, tapi dia langsung bilang suka?” Aku masih terdiam dan berkata dalam batin. Dan lagi sepasang matanya yang selalu mengawasiku itu membuatku tak dapat bergerak maupun bicara. “Orang ini mulai membuatku takut. Gimana nih? Ada orang aneh.” Berbagai macam pemikiran mulai berputar-putar dalam otakku.

“Eh, kamu kenapa? Aku cuma say hello aja kok. Karena saat ujian masuk kemarin aku menemukan gadis yang menarik perhatianku dan sejak saat itu aku mulai memperhatikanmu.”

Aku masih bergeming, keringat dingin mulai membasahi seragam abu-abu putihku, “aku selalu seperti ini kalau ada yang bilang suka sama aku, harusnya aku senang kan? Tapi kenapa jadi grogi terus jadi kikuk,” kataku dalam hati. Tak tahu kenapa kakiku dengan spontan membawaku berlari menjauhinya.

“Hosh hosh hosh, kenapa ada rasa takut padanya, ya?” aku menggumam sambil terengah-engah karena berlari. “Jangankan dekat-dekat sama dia, dengar suaranya saja aku merinding.” Aku mulai tak paham dengan perasaan ini. Kenapa aku takut dengan orang ini?

Suaranya yang terdengar sangat khas, suara hearse-nya yang terdengar berat itu terus terngiang di telingaku. Sepanjang jalan pulang yang terbayang hanya wajahnya yang dihiasi dengan senyum manis itu. “Kenapa malah dia yang muncul dalam benakku? Gak . . . gak boleh. Aku gak boleh terganggu dengan keadaan ini karena aku udah janji sama ayah, aku bakal masuk peringkat sepuluh besar. Aku harus fokus,” kataku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

Yah, aku pernah janji pada ayah kalau aku tidak akan pacaran selama aku masih sekolah, kecuali aku dapat peringkat terbaik tentunya. Karena itu aku belajar, belajar dan belajar. Hanya itu yang aku lakukan dan itu yang memenuhi pikiranku. Yah, itu demi mendapatkan kebebasanku.

 

Bersambung.....

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT