PUISI ESAI - NYAWAKU SEHARGA LIMA JUTA

wahyun 16 Mei 2019 11:25:23 WIB

NYAWAKU SEHARGA LIMA JUTA

Karya : Sri Wahyuni

/1/

Hari itu,

Kabar bahagia kudengar

Ada bantuan pemerintah

Akan diberikan.

Aku sangat senang

 

Bantuan...

Malu memang

Menjadi manusia yang menengadahkan tangan

Manusia yang mengharap uluran

Manusia yang hidup susah

Tapi itu keadaan

Bukan pilihan

 

Bantuan?

Mereka sebut itu bantuan?

Siapa kami?

Hei, kami rakyat

Kami yang harus diurusi

Kami yang harus dilayani

Sejatinya ini adalah kewajiban

Dan tanggung jawab mereka

Bukan bantuan

 

Kami hidup sengsara

Di tengah surga dunia Indonesia

Itu karena mereka

Mereka yang seenak udel menaikkan harga

Mereka yang pintar membodohi rakyatnya

Menjual kekayaan minyak kepada swasta.

Alasan menyamakan harga minyak dunia

mereka mengambil subsidi seenaknya.

Subsidi?

Bahkan memenuhi kebutuhan rakyat

Mereka sebut subsidi

Dan mereka menyebut telah mengurusi rakyat?

Ah, aku rakyat kecil

Yang bodoh

Tanpa pendidikan tinggi

Tak mampu berargumentasi

Dan beranalisis tinggi

Namun aku turut terbebani

Dengan kebijakan konyol ini

 

Aku rakyat jelata

Hanya mampu berkata

Kecewa

Dan menerima derita

Dengan suka cita

 

Demi mendapat bantuan,

Belum apa-apa

Telah terbayang

Sumpeknya antrian1

Lelahnya badan

Bahkan media pernah menayangkan

Terinjak-injak kerumunan

Sebuah bayangan yang mengerikan

Apa dikata

Aku membutuhkan

 

Aku yang tua

Dan sengsara

Sebatang kara

Terhibur sudah,

Saat membayangkan.

Tiga ratus ribu dalam genggaman.

Dengan lembaran itu

Berharap memberi terbaik untuk orang tercinta

Istriku yang telah tiada

Dengan acara mengirim yasin dan doa2

Tepat 40 hari kepergiannya

 

 

Tiga ratus ribu

Memang pasti langsung habis bulan ini3

Atau paling lama bulan depan.

Bulan-bulan selanjutnya?

Ah, sudah ada yang mengatur

Yang pasti,

Tiga ratus ribu

Akan kusyukuri.

 

/2/

Aku tersadar

Badanku lumpuh

Tidak kuasa lagi berjalan

Terlebih berdiri mengantri

Apalagi turut berdesakan

Ah, lagi-lagi akan merepotkan tetangga

 

Andi, tetanggaku4

Dengan suka cita membantu

Dia yang mengantri

Dia yang berdesakan

Dia yang berlelah-lelahan

 

Namun, sungguh kecewa

Dia yang kuutus kembali pulang.

Tangannya masih kosong

Hanya seuntai kabar yang disampaikan

Pengambilan uang tidak bisa diwakili

Harus aku sendiri.

Baiklah, aku mencoba memahami

Itulah birokrasi

Apa katanya,

Harus dipenuhi.

Demi mendapat apa yang sudah kunanti

 

/3/

Aku renta

Lumpuh,

Maklum tubuh tua.

Sendiri,

Istri mati baru 40 hari.

Rumah, ada

Ukuran 2 x 3

Sungguh luar biasa

Sempitnya.

Makan, sangat bisa

Dari dibantu para tetangga

Pekerjaanku, nelayan

Tapi itu dulu

Saat raga ini masih mampu

 

Ah, istimewanya aku

Menjadi manusia

Pembuka peluang surga

Bagi yang terbuka hati dan mata.

Namun,

Ternyata tidak demikian semua

Atas nama birokrasi

Manusia menjadi tak berhati

Manusia lain menjadi tak berarti

Itulah yang kualami.

Ya sudahlah

Mengalah pada birokrasi

Yang matanya tertutup dari pertimbangan insani.

 

Oleh birokrasi,

Aku diminta mengantri mandiri

Tidak peduli tubuh yang sudah layu ini.

Baiklah

Akan kuturuti

 

/4/

Ditemani kemenakan dan tetangga

Aku menuju ke kantor pos di kota

Aku mengantri sendiri

Sesuai apa kata birokrasi

 

Satu demi satu orang pergi

Meninggalkan barisan dari depan

Muka mereka sumringah

Menghitung tiga lembaran warna merah

 

Senyumku makin mengembang

Membayangkan aku juga akan demikian

 

Tidak apa badan ini lelah

Tidak masalah punggung ini hampir patah

Yang penting menerima 300 ribu rupiah

 

Posisiku makin maju

Ke depan loket aku menuju

 

Dengan dipapah aku melangkah

Bersiap menerima lembaran rupiah

Hati berdebar, tangan bergetar

Sungguh sudah tidak sabar

 

Nama saya Ratiman5

Alamat saya

Jalan Kalibaru II-A Nomor 61, RT 001 RW 10, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.

 

Ibu itu membolak balikkan kertas

Menelusuri tulisan dari atas

Buka lembaran lain lagi

Berdebar aku menanti

Uang Bapak sudah diambil

Katanya

Apa?

Uang Bapak sudah diambil

Aku mulai cemas

Badanku lemas

 

Kapan?

Oleh siapa?

Si ibu menggeleng kepala

Tidak tahu katanya

Yang pasti sudah ada

Tanda tangan telah tertera.

 

Aku,

Rakyat kecil.

Tidak berpendidikan

Sudah tak berdaya pula

Hidup susah memang sudah menjadi warna

Mengharap bantuan itu hal biasa

Entah dana itu dari mana

Karena apa

Oleh siapa

Yang jelas aku membutuhkannya

Namun

Apa mau dikata

Uang 300 ribuku ternyata sirna

 

/5/

Katanya birokrasi?

Katanya harus dipenuhi?

Katanya akan tertib dan rapi?

Nyatanya?

Uangku hilang

Birokrasi tidak menahu,

Siapa dan kapan yang mengambil hakku.

Bagaimana bisa?

Lalu aku akan minta ganti kepada siapa?

Kepada kepala negara?

Mana bisa?

 

Birokrasi berkata lagi

Urus hak Anda di kantor pos pusat Jakarta Utara

Baiklah

Akan kuturuti apa kata birokrasi lagi

Tapi ini yang terakhir kali!

 

/6/

Masih diantar kemenakan dan tetangga

Dibonceng aku menuju gedung kantor pos pusat

Dipanggang panasnya terik matahari

Aku mencoba bertahan.

Dipapah menyusuri koridor

Aku terseok mencari penghidupan

 

Tujuanku hanya satu

Memperoleh apa yang menjadi hakku

Demi acara mengirim doa pada kekasihku

 

Saya Ratiman

Alamatku

Jalan Kalibaru II-A Nomor 61, RT 001 RW 10, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.

Saya diminta ke sini

Untuk bertanya apa yang terjadi

Saya tercantum menerima dana bantuan

Saya sudah menurut apa kata birokrasi

Saya sudah mengantri sendiri

Namun uang saya sudah diambil katanya

Tapi oleh siapa, petugas tidak mengetahuinya

Saya sangat berharap uang itu kembali

Atau saya diberi lagi

Yang penting hak saya terpenuhi

 

Ibu itu melihat kotak di mejanya

Dan menggerakkan benda kecil di dampingnya

Menekan-nekan tombol pada papan hitam di depannya

 

Benar

Uang Bapak sudah diambil

Apa ibu tahu oleh siapa?

Tidak tahu namanya,

Yang pasti sudah diambil

Pandanganku kabur

Terhalangi oleh cairan yang merembes memenuhi kelopak

 

Wahai birokrasi

Lalu bagaimana lagi?

Apa yang harus saya lakukan

Agar hak saya kembali?

 

Maaf Bapak

Bantuan selanjutnya saja

 

Apa?

Yang tiga bulan lagi?

Lalu 40-an hari istriku?

Harus diadakan tiga bulan lagi?

Entahlah!

Sudahlah!

Aku sudah jengah

Aku sudah lelah

Aku sudah pasrah

 

Dibimbing aku menuju parkiran

Kita pulang saja Nak

Kataku lirih

 

/7/

Wahai istriku

Sungguh,

Aku mohon maaf padamu

Doa dzikir yang pasti engkau harapkan

Tidak jadi terselenggarakan

Karena satu alasan.

BLSM-ku diambil orang

 

Wahai istriku tercinta

Perih jiwa ini rasanya

Sudah kita orang tidak punya

Nasibnya masih harus terlunta-lunta

Demi mendapatkan hak

Harus pontang-panting kesini kesana

Dalam lemahnya jiwa dan raga

Dan hasilnya nihil pula

Ah, dunia ini kejam rasanya

 

/8/

Kepalaku pusing

Dadaku sesak

Hatiku kecewa

Pikiranku bingung

Jiwaku masih terkejut

Anganku melanglang buana

Panasnya terik hingga tak terasa

Laju motor tak terdengar

 

Bagaimana bisa?

Lalu bagaimana?

Uangku diambil siapa?

Bagaimana acara dzikir dan kirim doa?

Ribuan pertanyaan menghunjam pikiran

Tidak ada yang bisa menjelaskan.

Sedih dan kecewa menusuk ulu hati

Perih dan sakit rasanya

Namun tak tahu harus mengadu siapa

 

Di tengah teriknya jakarta siang hari,

Keringatku mengucur deras

Tubuhku kian melemas

Mbah, mbah sakit?

Suara tetanggaku terdengar kabur

Tak mampu aku menjawabnya

Kepalaku bertambah berat

Kusandarkan saja pada bahu di depanku

Motor kurasakan menepi

Dan berhenti

 

Mbah?

Suara panik dan khawatir kudengar

Mbah?

Seperti suara itu terdengar menjauh.

Kupejamkan mata

Meredakan peningnya kepala

Menenangkan gemuruh yang kurasakan di dada

Meringankan beban yang menghimpit jiwa

 

Mbah?

Sekarang suara itu sangat lamat terdengar

Tubuhku diangkat

Dibawa entah kemana

Aku sudah pasrah

Apa yang akan dilakukan oleh mereka

Aku sudah tak berdaya

 

Mereka menaikanku di atas becak

Disandarkan dan dikipas-kipas

Aku masih sadar

Ingin membuka mata

Namun entah mata ini tidak mau

Ingin menggerakkan tangan

Mengusap kepala kemenakanku

Agar tidak khawatir

Namun tanganku kaku

 

Becak dikayuh cepat

Lonjakan terjadi

Menabrak kerikil besar

Polisi tidur

Jalan yang bergelombang

Tetap tidak bisa menarikku

Tuk kembali dari alam bawah sadar

 

Sempurna gelap

Sempurna sunyi

Sempurna hening

Sempurna sendiri

 

Tidak, ada yang lain

Istriku?

Ya, itu istriku

Dia tersenyum pilu

Nanar menatapku

 

Ajaib !

Tiba-tiba tubuhku terasa segar

Ragaku bugar

Aku bisa berdiri

Aku bisa berlari

 

Bergegas kuhampiri wanita cantik itu

Wanita yang terpisah dunia 40 hari lalu

Sosok yang sudah sangat kurindu

 

Kugenggap tangannya

Dingin

Kuusap pipinya

Juga dingin

Kubelai rambutnya

Hmm...halus terasa

Ah, bidadariku

Aku akan bersamamu

Selalu

 

/9/

Istriku

Aku telah menyusulmu

Memang,

Tidak membawa 300 ribu

Hanya membawa segudang rindu

 

Istriku

Kudengar berita

Kita mendapat uang lima juta

Juga akan mendapat dari pak wali kota6

Katanya untuk santunan atas hilangnya nyawa

Kamu senang istriku?

Tidak?

Aku juga

Toh sama saja

Kita telah pergi dari dunia

Lalu uang itu apa guna

 

Istriku

Menyedihkan ya

Suamimu mati karena 300 ribu

Suamimu mati diganti lima juta

Nyawaku melayang karena perjuangan sedikit rupiah

Dan diganti juga dengan rupiah

Serasa nyawaku terbeli dengan materi

 

Istriku

Bagi rakyat papa seperti kita

Program pemerintah untuk rakyat miskin itu bak surya

Menyinarkan harapan

Berharap meringankan beratnya kehidupan

Tapi kenapa seperti ini jadinya?

Aku harus sampai kehilangan nyawa

 

Niatnya berjuang untuk menyambung nyawa

Eh malah nyawa melayang

Lucunya dunia !

 

/10/

Memang

Aku tahu

Ajal datang adalah takdir

Sudah tertuliskan

Pada kitab kehidupan

Namun

Bagaimana ajal datang

Ini yang menyesalkan

Juga menyesakkan

 

Detik ini ajalku

Mati pada usia sembilan windu

Ini takdirku

Pergi dari dunia

Yang memang sementara

Namun, bagaimana aku pergi?

Itu yang lucu

Mati dalam perjuangan

Perjuangan rupiah 300 ribu

Hahaha...

Nyawaku melayang karena uang segitu

 

Setelah nafas terhenti

Baru birokrasi terketuk

Dana lima juta diberi7

Senang harusnya aku

Tapi tidak

Berat syaratnya

Harus mati dahulu

Dan nyawaku terhargai segitu

Lucu

Aneh

Dan menyedihkan

 

/11/

Jika aku masih hidup

Aku akan melonjak gembira

Mendapat rezeki lima juta

Seumur hidup tidak pernah kupunya

 

Jika aku masih hidup

Akan kucium syahdu

Tangan pejabat kantor pos itu

Kuhaturkan ribuan terima kasih, walau hanya kata

Akan kubagi bahagia itu dengan para tetangga

 

Jika aku masih hidup

Uang sebanyak itu sangat istimewa

Kubuat perbaiki rumah

Untuk tempat singgah

Melepas lelah.

Kubuat membeli jala

Untuk modal kerja

Raga terobati karena bahagia.

Kubuat membayar tunggakan listrik

Yang hampir disegel.

Dua bulan aku absen membayar

 

Ya, uang itu untuk biaya hidup

Tidak untuk senang-senang

Tidak untuk jalan

Tidak untuk belanja

Tidak untuk berfoya

Sekali lagi,

Untuk hidup!

Aku tidak seperti mereka yang diatas sana

 

Sayang,

Uang itu diberi karena aku telah mati.

Sayang,

Dana itu diberikan untuk biaya penguburan.

 

Juga yang 300 ribu

Hak itu diberi saat jantungku telah terhenti.

Kenapa tidak kemarin saja?

Saat aku berjuang mendapatkannya

Apakah seperti ini

Juga aturan birokrasi?

 

/12/

Aku harus menggugat siapa

Lalu aku harus berbuat apa?

Aksi jalan ke gedung istana

Fisikku tak bisa

Membuat surat protes,

Aku yakin tidak akan dibuka.

Apalagi dibaca

Terlebih menjadi aksi nyata

Aku sudah tidak percaya!

Apalagi sekarang

Aku sudah terbujur kaku

Terlanjur tak bernyawa

***

  1. Sudah menjadi rahasia umum, apapun bentuk bantuan yang melibatkan kumpulan massa seperti pembagian daging kurban, zakat termasuk pengambilan dana BLSM selalu bedesakan atau antri yang melelahkan. Kurang kondusif untuk masyarakat kriteria manula.
  2. "Padahal uang itu mau digunakan untuk mengenang 40 hari istrinya,"ujar keponakan korban, Jailani (27), Rabu malam, 4 September 2013

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/04/064510440/Jatah-BLSM-Diambil-Orang-Kakek-Ini-Meninggal

  1. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat benar-benar membantu masyarakat hanya untuk sementara. Warga penerima BLSM mengungkapkan bahwa duit yang mereka terima sebesar Rp 300 ribu itu habis hanya untuk sekali belanja.

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/03/083509837/BLSM-Rp-300-Ribu-Habis-untuk-Sekali-Belanja

  1. Sebelumnya, kakek 72 tahun ini mengutus kemenakannya, Andi, untuk menarik uang bantuan itu. Namun, kedatangan Andi ditolak petugas Kantor Pos. Alasannya, dana BLSM harus diambil langsung tanpa perwakilan.

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/214510718/Ini-Kronologis-Kakek-yang-Meninggal-Tak-Dapat-BLSM

  1. Kakek yang meninggal karena uang BLSM yang telah diambil dan harus mengurus ke kantor pos pusat di jakarta utara adalah Ratiman yang tinggal di Jalan Kalibaru II-A Nomor 61, RT 001 RW 10, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/214510718/Ini-Kronologis-Kakek-yang-Meninggal-Tak-Dapat-BLSM

  1. Kemarin, Wali Kota Jakarta Utara, Bambang Sugiono, juga menyatakan akan menyampaikan santunan kepada keluarga Rastiman, lansia yang meninggal akibat kandasnya BLSM miliknya.

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/06/083510944/Keluarga-Kakek-Tak-Dapat-BLSM-Terima-Uang-Duka

  1. "Kami sudah serahkan Rp 5 juta untuk uang duka dan Rp 300 ribu dana BLSM haknya kepada keluarga korban," kata dia kepada Tempo hari ini, Jumat, 6 September 2013.

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/06/083510944/Keluarga-Kakek-Tak-Dapat-BLSM-Terima-Uang-Duka

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

PELADI MAKARTI

PENDATAAN PELAKU USAHA/ UMKM DI KALURAHAN PUTAT